“Jika bukan karena Abiku datang, pertandingan ini siap kutukar dengan keegoisanku!”
—Aurora, 2018
ʕ´•ᴥ•'ʔ
HARI kian berlalu, kemarahan Auro tak lagi bisa didamaikan dengan usaha apa pun, baik dengan urusan kerjasama tim ataupun pribadi. Jangankan untuk mengobrol dengan Arkan dan Delly, meliriknya pun tidak. Baginya tak ada jarak pembeda antara mereka berdua. Mereka sama menyebalkannya!
Sedang di pinggiran tangga koridor seberang lapangan sana, sudah hadir Aura dengan balutan gips di lengan kanannya bersama Abi sekarang. Abi sengaja datang setelah tahu jadwal pertandingan putrinya, membawa serta Willi, si pengadu yang memberi tahu pertandingan Auro tempo hari kepada Ibun.
Siang menjelang sore ini, untuk pertama kalinya seragam yang dikenakan Auro kini berbeda. Dia tak lagi menggunakan ban kapten pemberian Arkan, untuk pertama kalinya juga dia menggunakan stoking tanpa terlihat batasannya hingga ke bawah, dan sebuah kain penutup kepala.
Pasca-sehari setelah tantangan dari Arkan diselesaikan, Auro memang tak berpikir panjang lagi menanggalkan jilbabnya, juga sebab tak terlihat lagi luka yang telah sembuh lewat pengaplikasian setiap hari ramuan seledri Bunda. Dan hari ini, dia menggunakan kembali apa yang telah tertanggal atas bujukan Abinya.
Prriiiiittt ...
Sempritan panjang mengaung menandakan pertarungan dua lawan yang sama-sama kuat hendak mencetak poin. Ada Auro dengan tim tuan rumahnya menunjukkan performa terbaik mereka, juga tim tamu tak ingin mengalah. Pertandingan berlangsung sengit, terlebih Auro yang entah terlihat menyertakan emosi dalam dadanya di setiap langkah menuju ring lawan.
Priittt ...
Peluit bersiul lagi dan lagi, menandakan skor di menit-menit terakhir quarter awal kini berimbang.
“24-24”
“Wi ...” panggil Auro meminta bola di genggaman Tiwi segera dioper. Tiwi menurut dan melambungkan bolanya. Tak berpikir dua kali, shoot dari arah three point membuahkan hasil unggul di bawah tembakan Auro.
”Yash!” pekik Auro seolah dalam kepalan tangannya ada kepuasan tersendiri. Pertandingan quarter pertama usai dengan kemenangan di bawah tim mereka.
“Auro, santai aja, mainnya kaya biasa! Kamu terlalu tegang hari ini,” ujar Pak Ben mengingatkan.
“Enggak kok, Pak. Saya biasa aja perasaan,” bantah Auro sedikit melawan.
“Intinya jangan sampai emosi, Bapak perhatikan skill main kalian menurun dari pertandingan sebelumnya. Terutama kamu Auro, beberapa kali kamu malah ngasih kesempatan turnover ke lawan!” Semuanya diam menyimak.
“Okey semangat lagi, yang kompak mainnya!” sambung Pak Ben meminta mereka segera masuk ke lapangan kembali.
Auro sempat melirik dari maniknya, tim lawan tengah melingkar bersama seluruh tim sekolahnya baik pelatih, cheerleaders, serta pemain hendak melakukan tos persatuan. Auro menyinis remeh saja seolah memberi isyarat bahwa percuma mereka melakukan hal seberlebihan itu, timnya akan memulangkan mereka dengan kondisi keok tak berdaya.
Pertanda baik mengarungi jalannya pertandingan. Auro melancarkan seluruh luapan emosinya di setiap detik yang tersisa, lirikan tak ingin memberi peluang pada lawan ditunjukkan seluruhnya. Pikirnya akan sangat mudah saja mengeokkan mereka semua pulang tanpa harapan.
“Auro!!!” teriak Pak Ben mengontrol. Ada yang bermasalah dengan kapten basketnya hari ini. Permainannya tidak senyaman kemarin, Auro bahkan tak segan menyenggol lawan sehingga berakibat juga pada kejaran skor dari lawannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AURORA (END)
Teen Fiction"Nakal, bego, keras kepala, pembangkang, durhaka ... Sebenernya kelebihan gua apa sih, sampai harus nekad hidup di dunia ini?!" -Aurora *** Aku menjadikan diriku seperti bayaran atas...