1. New Circles

328 26 4
                                    

Memilih mengalah tidak selamanya menjadi kalah. Terkadang kita memang harus mundur, menarik diri dari masalah.

—Aurora, 2018.

***

HARI ini, tepat keduanya harus menginjak sekolah baru di tengah kota metropolitan terbesar, Jakarta, membawa serta seluruh perkakas keluarganya bermigrasi ke tempat baru.

Bermula dari ulah ketua gerombolan kelasnya di hari tragis itu, dia telah lancang mengganggu hak asasi Auro hingga keparat satu itu hampir saja meregang nyawa di jendela kelas lantai dua.

Tamat sudah kisah rumit Auro di Bandung dan harus memulai kisah barunya di tahun terakhir masa SMA mereka.

“Auro, inget, jangan kaya dulu lagi ya, Nak!” pesan Ibun mengingatkan sebelum dia dan Aura diantarkan oleh ibu wakil kepala sekolah menuju kelas mereka kelak.

Auro patuh membalasnya hanya dengan angguk meyakinkan saja sebelum mengikuti Aura menyalami Ibun dan berangkat menuju kelas. Bagaimana tidak, Ibun sudah meminta sumpahnya untuk tidak akan macam-macam lagi.

Ibun melepas rela putri kembarnya kini dibawa menuju kelas dan lingkungan yang baru. Berharap, segala yang telah dikorbankan semoga terbalas dengan sadarnya Auro di lingkungan yang dianggap tidak lagi seperti sekolah lama dulu.

Kedua putrinya kini semakin jauh lalu hilang ditelan lorong.

Hening. Satu kata yang menggambarkan keadaan perjalanan mereka. Tak ada gemingan, hanya sentakan high heels ibu wakil kepala sekolah menuntun keduanya menuju kelas yang berhasil meyakinkan pengaruhnya pada ketenangan seluruh ruang yang dilewati. Tak hanya satu, bahkan beberapa kelas yang tadinya bising, mendadak hening tak bersuara beberapa meter sebelum decak high heels tersebut mendarat pada teras-teras kelas mereka.

Utamanya pada kelas yang ditapaki sedetik lalu ini.

Baru sepersekian detik batang hidung ibu wakil kepala sekolah tersebut nampak memasuki ruangan, barisan terdepan hingga pojok di belakang sana seperti keruntuhan rahangnya tiba-tiba. Benar-benar mereka takluk tak bersuara.

Kurang penilaian apalagi Auro jadi tidak mengidolakan ibu wakasek barunya coba?! Kepribadian dia telah lolos melampaui batas kriteria idol Auro.

“Pagi ini kalian kedatangan dua teman baru, Ibu harap tidak ada keributan setelah ini. Silakan perkenalan!” ucap wakaseknya begitu tegas, dagunya sengaja terangkat congkak.

Auro sigap menarik napas hendak memulainya lebih awal, namun belum sempat terembus tarikan napasnya, lengan Aura tiba-tiba menahan agar dia saja yang mewakili.

Sial!

Assalamualaikum, selamat pagi semuanya. Perkenalkan saya Aura Fatimah Ahmad, dan ini adik saya Aurora Fatmah Ahmad—”

“Haaiii Auraaaa ...” sorak seisi kelas berhasil memotong perkenalan Aura yang mirip sekali opening film kartun kembar dari negara tetangga tersebut. Seperti biasa, Auro hanya mengedik jijik kesekian kali menyaksikan pemandangan membosankan ini, tak di Bandung atau di sini, tak ada bedanya ternyata. Dia akan tetap menemui banyak spesies lelaki gatal kepada kakaknya.

“Kami pindahan dari Bandung. Senang bisa bertemu teman-teman semua.” Begitu kata Aura sebagai akhir perkenalan dengan menyertakan senyum ramah pada seisi kelasnya.

AURORA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang