"Deritanya lebih dalam, namun syukurnya tidak kalah hebat. Aku tidak percaya bisa mengagumi keluarga orang lain, di luar dari keluargaku yang kuanggap paling hebat."
-Aurora, 2018
***
Bunda Arkan akhirnya datang dengan ulekan juga seikat seledri di tangannya. Auro memicing untuk apa sayuran tersebut. Sebatang seledri itu lalu ditumbuknya hingga halus rata kemudian dibuat seperti tempelan.
"Hm ... kayanya nggak bisa di sini deh, gimana kalau di kamar Bunda aja?" usulnya meminta Auro segera beranjak menuju kamarnya.
Sempat-sempatnya Auro terkesima ketika pertama kali menapak di lantai kamar Bunda Arkan. Kamar yang sangat rapi, hanya terdiri dari satu buah kasur, nakas, lemari dengan cerminnya, juga meja berisi klase foto yang berjejer. Hanya itu, tidak ada yang lain.
Apakah termasuk kelancangan berkunjung ke kamar seseorang yang baru saja berkenalan, terlebih dia jauh lebih tua dan merupakan orangtua dari teman yang bahkan tidak begitu akrab?! Jangan sampai saja seisi sekolah tahu takdir yang menimpanya ini. Namanya mungkin akan ketambahan embel tak tahu malu, terlebih dengan menyeret nama dari Arkan juga bundanya.
Auro lalu dibaringkan dengan bantal menopang dagunya, selimut kasur yang semula di atas jadi diletakkan di lantai sebagai alasan. Auro mengambil posisi tengkurap di sana sebelum menggulung baju bagian punggungnya agar diobati lebih dulu.
"Ya ampun, ini kok bisa kaya gini?" Bunda Arkan kembali mempertanyakan wujud penasarannya sembari membalurkan tumbukan seledri tadi pada objek luka di bagian punggung.
"Dicambuk Ibun," terang Auro begitu singkat sembari menahan perihnya dibaluri obat-obatan itu.
"Ya Allah, kok tega sih Nak, cambuk sampai sebegini?" Bunda Arkan ikut mendesis ngilu.
"Tenang, Tante. Ibun orang baik kok, emang aku yang salah udah dilarang dari dulu tapi masih aja dilakuin. Emang nunggu Ibun marah besar kali, baru mau sadar!"
"Tapi apa ini nggak parah, apalagi anaknya perempuan?! Kasian loh,"
"Kalau dihitung dari kesalahanku, hukuman gini masih terhitung ringan sih, Tante. Tadi pagi Ibun juga udah mau ngompres, tapi aku yang nggak mau. Aku tahu Ibun pasti bakal nangis ngerasa bersalah lagi. Udah cukup aku buat Ibun marah besar sampai kecewa banget kemarin, aku nggak mau buat Ibun jadi nangis juga. Makanya aku ke sini, seenggaknya Arkan bisa dipercaya semenjak pertama kali gabung di tim dia. Apalagi bundanya, lebih terpercaya lagi pasti!" puji Auro.
"Kok bisa sepercaya itu sih ke Bunda? Bunda kan belum begitu kenal teman-teman Arkan semuanya, kalian juga belum kenal Bunda gimana,"
"Ibunku pernah bilang gini, Tante, seseorang dinilai nggak dari dirinya sendiri, melainkan dari generasinya. Aura kakakku, didikannya bisa baik, karena pendidiknya baik. Arkan didikannya baik, pasti pendidiknya juga baik. Dan aku udah percaya ke Tante sama kaya Ibunku, dari mereka berdua. Jadi nggak ada salahnya butuh dua ibu untuk menyaingi mereka juga, hehe," Auro terkekeh, sedangkan lawan bicaranya sukses dibuat hening membisu.
Ada segelintir paham yang belum usai dikunyah dari penuturan Auro barusan. Sedikit percikan kalimat tersebut membuat bekuan yang bersarang di dalam hati bunda Arkan perlahan meleleh. Auro ikut membalas hening suasana yang merebak terjadi, hingga sama-sama terciptalah menit kebungkaman.
Andai sosok itu masih ada, mungkin bunda akan bangga masih mendidik anak seberbakti dia. Nyatanya Tuhan berkehendak lain, membiarkan dia mengasuh satu anak lelakinya saja. Pun dia sangat bersyukur, alangkah beruntungnya membesarkan anak kecil yang menyapunya ketika kepergian sosok yang lebih dulu pergi itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AURORA (END)
Novela Juvenil"Nakal, bego, keras kepala, pembangkang, durhaka ... Sebenernya kelebihan gua apa sih, sampai harus nekad hidup di dunia ini?!" -Aurora *** Aku menjadikan diriku seperti bayaran atas...