21. Truth or Dare

76 11 6
                                    

“Temen itu bukan sesuatu yang bisa dibeli dengan persyaratan.”

—Aurora, 2018

ʕ´•ᴥ•'ʔ

LOH kalian … kok pulang?”

Datang Bunda ikut menengahi mereka masih di muka pintu, sigap Arkan dan Lilo menyalami punggung tangan Bunda. Hanya Auro saja yang shock sendiri tak menerima kehadiran para kurcaci tak diundang ini untuk hadir di hadapannya.

“Nggak jadi nginep, Bun,”

“Eh, Bunda. Assalamu’alaikum,” tambah Omar dan Bara yang sudah kembali dengan ransel di kedua bahu mereka.

Wa’alaikumussalam. Ya udah masuk yuk. Kebetulan kita lagi mau makan,”

“Wah, pas kalo gitu, aku emang lapar, Bun. Ayam di rumah Pak Ben belum sempat dibakar,” lapor Lilo sebelum berlalu lebih dulu meninggalkan yang lain menuju meja makan.

Makan malam berdua kali ini jadi batal dilakukan oleh Auro dan Bunda, disebabkan telah datang juga perusuh-perusuh tak diundang yang tidak diharapkan Auro. Selera makan Auro jadi berada diambang kebimbangan, antara mau dan tidak memasuki rongga perutnya.

Lilo benar-benar menjengkelkan dengan ocehan tidak bermanfaatnya, semua makanan jadi sok di-rewiew setelah tahu itu adalah masakan Auro. Meski sempat tidak percaya jika bukan Bunda yang memberi tahu, makanannya tetap dinikmati juga.

“Sumpah, Ro, sambelnya enak banget. Lu udah cocok buka warung, gua jamin rameee,” Lidah Lilo sampai terseok-seok menahan pedasnya di sana.

“Diem deh lu, gua nggak butuh puji—” dumelan Auro terpaksa harus dipotong sebelum selesai. Nafsu makannya memang sudah jatuh semenjak kedatangan mereka, isi piringnya hanya tersedia nasi dan sayurnya saja, tapi demi Tuhan dia sama sekali tidak butuh perlakuan Arkan sok baik memindahkan lauk piringnya ke piring Auro.

“Lu juga! Kalau lu nggak bisa habisin makanan lu, jangan pindahin ke—”

“Makan yang banyak, Ro, anggap aja rumah sendiri,” Arkan tidak kalah memotong asal perkataan Auro.

Sumpah Lillahi ta’ala, semoga ini menjadi kali terakhir mereka makan semeja bersama. Jika tidak, Auro yang akan membuat mereka semua kapok makan bersama dengan Auro. Menyebalkan sekali sampai kangkung yang antusias ingin dicicipinya tadi sudah hilang rasa.

Makan malam berakhir hening tanpa suara kecuali dengkur kekenyangan Lilo diikuti bunyian piring yang dibereskan oleh Auro dan Bunda. Selanjutnya mereka bergegas menuju ruangan kosong di ruang tengah hendak melaksanakan ibadah Isya, para lelaki itu memilih tidak ke masjid dikarenakan kemalasannya yang memperhitungkan sampai di masjid mereka tetap saja terhitung masbuk, jadi kesepakatannya mereka beribadah di rumah, diimami oleh Arkan hingga ibadah usai.

Selanjutnya mereka berkumpul di ruang tamu dengan toples cemilan di meja kini berada di pangkuan Lilo. Mereka duduk saling berhadapan satu sama lain entah hendak melakukan apa. Bunda juga sudah berlalu, tidak mengizinkan Auro mengikutinya membereskan cucian piring mereka, padahal segunung apa pun piring kotornya dia lebih rela mencuci rata semuanya ketimbang berurusan dengan mereka-mereka ini.

“Diem-diem bae, main yuk!” usul Omar memandangi satu per satu seisi ruangan.

“Gimana kalau main pancasila lima dasar?” Bara menyumbang idenya.

“Boleh tuh. Yang kalah kasih TOD,”

“Gua nggak ikutan,” Auro mundur lebih dulu.

“Heleh, cemen, bilang aja lu takut, kan?!” Lilo beraksi memanasi Auro agar dia ikut juga, muka Lilo memang muka-muka tipe menyebalkan, mengundang sekali untuk ditonjok.

AURORA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang