9. Berkenalan Dengan Dia

90 15 0
                                    

Mereka terlalu unik untuk jadi kembar identik.

—Malik Zia Arkanzi

***

Hari penantian tiba. Auro segera beranjak keluar dari rumah setelah menyantap makan siang buatan Ibunnya, tidak lupa Aura juga mengekor di belakang hendak menonton pertandingan yang akan Auro hadapi tanpa seizin kedua orang tuanya.

Belum sampai keluar ke muka pintu, Abi tiba-tiba saja ikut keluar dari ruang tidurnya menggunakan kaos sesiku, celana semata kaki, juga selipar summer sebagai alasnya.

Dengan percaya dirinya dia datang menghadap kedua putrinya yang tertahan hendak menanyakan ke mana dia akan pergi sesantai itu.

“Yuk, berangkat sekarang!” kata Abi menujukan pandangan berkacamatanya itu pada dua putri identiknya.

“Mau ke mana, Bi?” tanya Auro mengangkat sedikit heran alisnya.

“Anterin kalian lah. Mau ke rumah temen latihan drama, kan?” jawab Abi.

“Ih, Abi nggak usah. Abi di rumah aja, aku sama Aura udah pesen taksi online kok,” kata Auro menyambar cepat ketika Abi membuat napasnya jadi berembus tak keruan. Bisa habis dia kalau sampai ketahuan.

“Taksi online kan bayar lagi, Sayang, mending Abi aja yang anterin,” Abi masih menawar.

“Udah, Bi, tenaga Abi mending disimpen sampai Auro pulang, nanti Auro janji temenin Abi baca kitab Shahih Bukhari ya. Abi nggak perlu repot-repot anterin Auro, uang jajan Auro kan masih ada, Bi, sayang kalau Abi keluar bensin lagi buat nganterin. Oke!”

“Kenapa sih kamu nggak mau dianter? Curiga Abi, jangan-jangan ... kamu bukan mau latihan drama ya?” tebak Abi makin mendebarkan jantung palpitasi Auro.

“Abi, nggak boleh suudzon loh!” Auro jadi memekakkan kelopaknya berusaha agar tidak terlihat panik, seakan-akan dia tidak terima perilaku orang tuanya memberi contoh berburuk sangka yang tidak dibenarkan.

“Kamu nggak pacaran, kan?” tebak Abi lagi.

Astagfirullah, Bi—” Auro berembus lega, setidaknya dugaan Abi masih jauh dari kata benar, “Liat nih Aura yang Abi sama Ibun percaya, ikut sama Auro, mana mungkin Auro pacaran sih. Abi nih ada-ada aja deh!”

“Bi, bener kata Auro. Abi mending di rumah aja, urusan Abi kan masih banyak. Aura sama Auro bisa pergi sendiri kok, Bi, Abi nggak usah khawatir,” Akhirnya suara Aura menambahkan juga. Dalam konsep perkembaran, satu sama lain memang harus saling menutupi kekurangan, untuk melumpuhkan pihak lawan.

“Tapi kan, Abi—”

“Nggak apa-apa, Bi. Anternya lain kali aja, soalnya hari ini aku sama Auro banyak yang mau diurus juga, takutnya Abi ikut repot,”

“Bener nggak mau diantar?” Abi memastikan kembali.

“Bener, Bi,”

“Ya udah deh kalau nggak mau, hati-hati aja di jalan,”

“Iya, Bi. Aura sama Auro pamit sekarang ya, assalamu'alaikum,”

Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh,”

Selamat!

Mereka akhirnya berangkat dengan kepala juga dada yang hampir meledak ketakutan. Lepas sudah napas lega Auro meski jemari miliknya masih dingin membeku. Dia harus menenangkan kembali perasaannya agar tetap rileks selama bertanding nanti.

“Tenang, Ro!”

Hush, ah! Diem aja, Ra!” sergah Auro meminta suasana hening sebentar untuk meluruhkan detak tak beraturannya di jok. Kondisi yang setiap saat dirasakan setiap nyaris ketahuan, sekiranya butuh sepuluh menit pertama untuk menetral kembali, setara dengan jarak tempuh dari rumah ke sekolahnya.

AURORA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang