“Sabar. Barang kita tuh cuman titipan dari Allah, ada saatnya Allah minta balik barangnya.”
—Aurora, 2018
***
“IBUN, Auro keluar sebentar bareng Aura ya!”
Auro memekik di muka pintu dengan maksud izin tanpa berharap balasan Ibun akan didengarnya lagi sekalipun hal tersebut adalah larangan. Ia menarik segera Aura berlari meninggalkan rumah berikut skate board-nya yang digenggam.
Redup nyala matahari sore ini, seakan menyatakan pada penghuni bumi yang lalu lalang, jalan-jalanlah dulu, nikmati sudut kota berpolusi yang setidaknya masih menyisakan tempat indah yang belum kalian kunjungi di sini.
“Mau nyobain nggak?” tunjuk Auro pada skate di pegangan menawari teman berjalannya.
“Enggak ah, aku nggak tahu main gituan, entar jatoh lagi,”
“Nggak jatoh, kan ada gua! Nih gua pegangin,” ujarnya meyakinkan Aura menggunakan papan skate-nya melewati jalur menuju taman kota, tempat yang kebetulan terletak lumayan dekat dengan rumahnya.
Dulu juga Auro tidak langsung bisa bermain skate seperti sekarang, setidaknya bokongnya pernah ngilu terjerembab masuk got karena tak tahu mengendalikan roda skatenya yang enggan berhenti.
Dan paling tidak, Aura tidak akan merasakan hal tersebut di pengalaman pertamanya menggunakan skate dengan diawasi langsung sang adik.
“Jangan kenceng-kenceng ya, Ro. Aku takut,” kata Aura ikut berpegang erat, adiknya yang akan berbaik hati mengarahkan arah perjalanan sekaligus merelakan pegangannya yang diperas mati.
“Iya, makanya pegangan, gua ajarin lu biar cepet nyampe. Pegangan!” perintah Auro mulai mengambil ancang-ancang.
Perasaan Aura makin tidak enak saja, dia yakin nyawanya tidak akan aman jika Auro harus dijadikan guru. Begitu langkah Auro tiba-tiba memilih berlari kencang, pegangan Aura juga semakin kuat memeras. Dia tak berani membuka mata, melihat apa yang akan terjadi.
“Auroooo ...”
“Pegangan aja!” pekiknya lagi seakan mendapat hal menarik baru dari bermain skate. Aura hanya mampu memasrahkan takdirnya, jika harus menabrak pengendara motor, setidaknya yang celaka tak hanya dia.
Auro menarik kuat pegangan Aura hingga meluncur mulus di pinggiran jalan menuju ke taman kota. Katup jantung Aura berhasil dibuat lemas berdetak sampai laju kencang papan yang digunakan barusan akhirnya memelan kembali.
“Minggir, payah lu ah. Gitu aja takut!” Auro mendengkus menyingkirkan Aura dari atas papannya. Tak tahu saja apa yang barusan terjadi sukses memblokade udara masuk ke paru-paru Aura.
Auro menggantikan tempat Aura untuk berjalan beriringan dengan papan skate di bawah kendali kaki kirinya. Tragedi Aura hampir dibunuh secara tidak langsung adik sendiri perlahan ikut hilang menguap dari kepala setelah menapak di taman kota. Sejuk mata memandang kebahagiaan orang-orang.
Berhubung dulunya taman yang dikunjungi kali ini merupakan sebuah stadion, tidak salah jika di dalam sana tersedia beberapa lapangan bersama para olahragawannya, bocah-bocah di areanya, serta wisatawan lalu lalang di bawah terik sore yang kian menghangat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
AURORA (END)
Teen Fiction"Nakal, bego, keras kepala, pembangkang, durhaka ... Sebenernya kelebihan gua apa sih, sampai harus nekad hidup di dunia ini?!" -Aurora *** Aku menjadikan diriku seperti bayaran atas...