"AURO... lu di dalem ya?"
"Keluar dong, Ro, jangan sedih-sedih terus. Kan masih ada kita,"
"Ro, Abi hari ini udah boleh pulang loh. Kamu nggak mau ngejemput?"
Bujuk rayu Arkan beserta kawan lainnya mulai meramaikan pintu kamar Auro. Auro sendiri tak menggubris di atas lotengnya, dia hanya memeluk erat frame foto bersamanya dengan Willi yang sudah dicoret silang.
Kini bayangnya mulai berpencar ke mana-mana, mungkin hari ini ia belum merindukan apa pun tentang Willi, namun suatu ketika ia pasti akan kembali meratapi peristiwa yang sama dengan keadaan yang telah berbeda. Keadaan yang memaksa dia tak mampu lagi menemukan Willi dalam jangkauan matanya. Berat. Namun, seperti itulah yang terjadi.
Selain sisi terpuruk yang diterima Auro, sisi sebaliknya juga ia rasakan sebagai sesama manusia yang kelak akan meninggalkan dunia yang fana ini juga. Auro berpikir keras untuk kembali menata janjinya pada seluruh manusia baik tersebut sebuah janji kecil atau janji yang menyangkutkan seluruh proses kehidupannya. Ia takut sesuatu yang sama pada Willi kemarin juga terjadi padanya, pergi tanpa diberi kesempatan memenuhi janjinya.
Abi khususnya, Auro tidak akan lupa bahwa satu dari dua manusia yang pernah dibuatkan sebuah perjanjian tanpa materai adalah Abi, bahwa Auro akan tetap berusaha mengenakan jilbabnya di hadapan lelaki yang sama sekali tak berhubungan darah dengannya alias bukan mahram, dengan catatan hanya sebagai pemenuhan janji terhadap Abinya, dan sudah sepantasnya juga ia mengenakan penutup kepala tersebut dengan segala momen yang telah ia lalui, seperti obrolannya dengan Arkan mengenai orang gila di hari itu, pertemuannya dengan Via, ditambah lagi dengan permintaan-permintaan keluarganya.
Serta satu orang lainnya yang pernah diberi sebuah perjanjian juga tidak lain adalah Ibunnya. Janjinya untuk selalu menjadi baik.
Auro telah lebih dulu merasakan betapa meringisnya hati meminta segalanya kembali. Cermin besar pada kepergian Willi kemarin telah berhasil menampar keras pelipis Auro bahwa dia pun tak punya banyak waktu. Selagi masih mampu dibayarkan, maka bayarlah. Bukankah janji adalah sebuah hutang bahkan setelah kematian pun akan tetap tertulis sebagai janji?
Gadis itu tak ingin perasaan yang sama dirasakan oleh orang lain juga sebab ulahnya. Sampai hari ini benak Auro hanya mampu meraung, dia benar-benar buntu harus pada siapa dia menagih janji Willi kemarin. Setidaknya cukup dia yang mengalami kebuntuan, tidak kepada orang lain.
"Auro, belajar nyetir lagi yuk. Kali ini kita belajar sampe lancar, gimana?"
"Wah, setuju tuh, abis itu ke warung lele kemaren, Bara yang traktir lagi, gimana?"
"Kok jadi gua, apaan sih lu, Mar?" bisik Bara mendesak.
"Kaya kemaren dong,"
"Itu kan duit Abi, Udin!"
Auro mendengus, suara percekcokan para lelaki di bawah sana benar-benar mengganggu suasana dukanya. Auro bergegas turun menemui mereka dengan malas. Kain penutup kepalanya pun diraih lalu mengaitkan di lehernya sebelum datang membuka pintu kamar. Sekali lagi, hanya untuk pemenuhan janji kepada Abinya.
"Bisa diem bentar nggak?" sahut Auro memunculkan kepalanya seleher saja.
"Lu kok di kamar terus sih, Abi kan udah mau balik. Lu nggak mau nyambut Abi apa?" sambar Omar.
"Lu juga ngapain di dalem sini, main masuk rumah orang aja," telak Auro memasam.
"Yeh, jangan suudzon lu. Orang Abi yang nyuruh kok, katanya lu jangan kelamaan sedih,"
"Cuman mau ngomong gitu doang? Kalau udah, mending kalian cepetan pulang PR kalian pasti banyak."
"Ro, PR mah urusan besok, sekarang mah urusan lu sama kita. Yuk ah jalan, lu jangan ngurung di kamar terus. Gak baik, entar kerasukan,"
KAMU SEDANG MEMBACA
AURORA (END)
Novela Juvenil"Nakal, bego, keras kepala, pembangkang, durhaka ... Sebenernya kelebihan gua apa sih, sampai harus nekad hidup di dunia ini?!" -Aurora *** Aku menjadikan diriku seperti bayaran atas...