“Hanya orang-orang lemah yang membutuhkan teman, haha!”
—Aurora, 2018
ʕ´•ᴥ•'ʔ
SENIN, hari yang selalu dianggap horor oleh Auro, hari ini justru menunjukkan berkahnya yang jarang disyukuri banyak orang. Memang, Senin selalu dianggap sama saja seperti hari biasa, tak tahu bahwa masih banyak ruh di bawah tanah sana yang hendak merasakan teriknya matahari Senin tiba.
Semua ini hanyalah perkara bersyukur. Bisakah kita mensyukuri nikmat karena belum bernasib seperti saudara kita yang tidak disinari matahari pagi lagi. Mereka mungkin mengutuk kita yang banyak mengeluhkan panasnya bumi yang masih terasa. Sedang mereka menangis ingin kembali menjadi hamba yang lebih bersyukur lagi.
Seperti di Senin hari ini, Senin pagi yang berbeda teruntuk Auro. Auro sampai membela-belakan berdiri tegap mengikuti upacara berlangsung, tidak lagi lemas seperti Senin yang telah berlalu. Terlebih sesaat setelah mendengar protokoler upacara membacakan susunan acara tambahan sebelum amanat disampaikan. Auro juga Arkan sebagai perwakilan tim basket diminta maju ke hadapan seluruh siswa menerima tropinya sebagai pemenang dalam pertandingan hari kemarin.
Jelas hal tersebut mengundang kebanggaan khusus bagi Auro, terlebih lagi setelah mendapat dua tropi sekaligus, dengan posisi pemenang pertama tim putri, juga sebagai pemain terbaik alias MVP, Most Valuable Player, selama pertandingan kemarin.
Satu tropi akan Auro sumbangkan atas nama tim basketnya kepada sekolah, dan tropi satunya lagi akan dipajang di loteng.
“Selamat ya.”
Kepala sekolah menyalami keduanya di hadapan seisi lapangan, lalu disambar seorang anggota OSIS dengan kamera yang dibawa.
“Senyum! Satu, dua, tiga …”
Jepret.
Gambar terambil dan keduanya kembali turun ke posisi semula. Satu saja yang kurang, Pak Ben tak terlihat selama upacara berlangsung dikarenakan masih berada di rumah sakit. Sayang dia tidak menyaksikan asuhannya menerima hasil dari didikannya.
Seberes upacara terlaksana, Auro segera menemui timnya hendak menyerahkan dengan hormat hasil dari kerjasama mereka selama pertandingan berlangsung kemarin kepada Tiwi. Kebanggaannya belum habis bahkan ketika tak ada tepuk tangan lagi yang digemakan untuknya, bangga karena pernah menjadi tim basket sekolah jauh lebih mewakili apa yang sedang dia rasakan saat itu.
“Dijaga ya piala dan kerjasamanya,” pesan Auro empat mata dengan Tiwi.
“Thanks a million, Ro. Sekalipun lu udah nggak bareng kita, tapi nama lu akan tetap abadi di tim ini. Semoga lu juga sukses dengan jalan pilihan lu nantinya, Ro,”
Mereka saling menyenyumi kemudian berpisah menuju kelas mereka masing-masing. Kisah Auro mengepalai tim mereka telah usai sampai di sini saja.
Pembelajaran di awal hari segera dimulai dan dilangsungkan dengan jeda istirahat lima belas menit serta jam sholat Dhuhur seperti biasa. Perasaan itu entah bagaimana bersarang menjadi euforia yang tak lekang juga bahkan setelah semuanya telah berlalu. Masih tersisa satu hal yang tidak sabar Auro lakukan. Dia ingin segera pulang, ada sosok yang sangat ingin ditemui sekarang.
Begitu bel pulang bergema, dengan semangat Auro mengusaikan pemandangan terbaik dari piala yang sedari pagi dipandangnya. Dia seperti kucing hutan yang baru saja keluar melihat dunia perkotaan, hanya karena terbuai pialanya itu. Bahkan seisi kelas yang melihatnya berpikir yang sama, Auro norak hanya karena menjadi MVP.
Memang seperti itulah mulut orang-orang yang tak pernah jadi pemenang, pikir Auro.
“Assalamu’alaikum, Abiiii…” pekikan Auro melengking, mendobrak pintu sepulangnya dari sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
AURORA (END)
Teen Fiction"Nakal, bego, keras kepala, pembangkang, durhaka ... Sebenernya kelebihan gua apa sih, sampai harus nekad hidup di dunia ini?!" -Aurora *** Aku menjadikan diriku seperti bayaran atas...