“Jika harus bertaruh, aku akan bertaruh menendang mereka seperti sampah keluar dari sekolah ini!”
—Dellyara Nania
ʕ´•ᴥ•'ʔ
“ROOOO! Auro, liat!” pekik Lilo segera menemui Auro di bangku belakang. Langkah tergopoh-gopohnya langsung berhenti sesaat setelah sampai di tempat Auro dan berhasil mengundang seluruh mata seisi kelas menyaksikan mereka. Sejak kapan ada kisah Lilo dan Auro tiba-tiba akur?!
“Eh, bebeb Aura, Assalamu’alaikum, Beb, udah sholat Dhuhur?” Lilo menyengir kuda melirik Aura berdampingan dengan adiknya.
“Wa’alaikumussalam. Alhamdulillah baru aja selesai,”
“Lu bawaan apaan tuh?” Auro beralih melirik kertas foto yang dibawa Lilo.
“Gua dapet ini dari anak mading, baru aja mau dipajang, tapi gua minta,” terang Lilo sembari menyerahkan hasil print out gambar Auro dan Arkan berdampingan di upacara kemarin lengkap dengan tropi kemenangannya.
“Terus mereka nggak jadi pajang, gitu?” Auro melipat kening.
“Tadinya mau sih, tapi kan gua minta, gua bilang lu pasti nggak suka dan yang berani nempelin bakal dihabisin sama lu, jadi mereka kasih ke gua deh. Baik kan gua?”
Tanpa aba-aba apa pun akhirnya tibalah saatnya jemari Auro benar-benar menelepak pelipis Lilo, melepaskan segala kegemasan jari-jarinya sejak dulu. Lilo sampai menggeleng pusing, lama-lama tengkorak kepalanya ikut hancur sebulan kedepan bergaul dengan Auro.
“Batal terkenal gua!” desis Auro mengertakkan gigi merampas foto itu.
“Lu nggak suka ya? Apa udah kepengen nyaingin bebeb Aura ya, biar dikenal juga satu sekolah? Cie elah. Udahlah, Ro, kamu mending jadi diri sendiri aja. Aura jadi kupu-kupu, kamu tetep jadi lebah,” tutur Lilo dengan nada menggodanya naik turun.
“Maksud lu?”
“Gini, sekalipun lu udah pakai jilbab ke sekolah, lu akan tetep dikenal sebagai Auro. Macan dari Bandung. Gak akan bisa jadi kupu-kupu,”
“Gua pakai jilbab bukan karena pengen mirip Aura ya. Gua pakai jilbab karena ngehargain pemberian Abi gua. Nggak usah sok tahu lu!”
“Alesan—”
“Udah ah, diem!” sergah Auro tak mau cekcok lagi, sekaligus sesaat alihan matanya tidak sengaja melirik ke arah pintu kelas. Ada Baron di sana, yang seperti tengah berdiskusi untuk masuk ke dalam kelas Auro juga.
“Awas lu ngapa-ngapain Aura!” ancam Auro memutuskan pergi meninggalkan Lilo di mejanya lalu langkahnya tergerak menemui Baron dan kawan-kawan di luar.
“Hei,” sapa Auro.
“Eh, Aura,” kata mereka sedikit menjaga jarak. Mereka masih terlihat ambigu membedakan jika si kembar di sekolah tersebut mengenakan seragam serupa.
“Ini gua Auro. Ngapain lu semua di sini?”
“Hah, Auro ya?!” Baron nampak speechless, “Kok jadi berubah gini sih, hihi,”
“Gua nanya lu semua ngapain ngumpul di sini? Ini bukan markas basket!”
“Eh, anu Ro … kita sengaja mau nemuin lu, mau ngobrol sebentar. Boleh?”
“Ya udah ngobrol aja kali, kenapa pake izin segala sih,”
“Kalau gitu boleh lu ikut kita sebentar?” pinta Baron sebagai juru bicara beberapa laki-laki yang mendatangi kelas Auro.
KAMU SEDANG MEMBACA
AURORA (END)
Roman pour Adolescents"Nakal, bego, keras kepala, pembangkang, durhaka ... Sebenernya kelebihan gua apa sih, sampai harus nekad hidup di dunia ini?!" -Aurora *** Aku menjadikan diriku seperti bayaran atas...