“Jangan main-main ke gua, lu bisa mati sampai nggak ada yang nahan rasa puas gua menghabisi lu yang nekad jadi mangsa!”
—Aurora, 2018
ʕ´•ᴥ•'ʔ
MALAM ini dingin begitu terasa merasuk tulang-tulang Auro di atas loteng. Tiga hari telah mengelabui hingga detik ini ia masih setia memangkal di atas sana menghabiskan cemilan yang masih tersisa. Dalam hati dia berniat untuk ke sekolah lagi besok, dan yang menjadi buah pikiran Auro sekarang adalah tantangannya dari Arkan.
Meski terlintas hari itu bahwa ia seakan tak peduli dan tak menerima tantangan dari Arkan, kejadian tersebut justru malah berhasil menjadi hantu di dalam kepala Auro. Sejak kapan Auro menjadi pecundang?
Lepas memikirkan matang-matang hal tersebut, ia akhirnya memilih turun dari atas loteng. Gerak-geriknya tak pernah nyaman sedari dia naik tadi, selalu ada hal yang mendorong relungnya untuk segera turun dan mengunjungi kamar Aura sekarang.
“Ra …” panggil Auro sembari mengetuk pelan pintu kamar Aura.
“Iya?”
“Buka pintunya!”
“Tunggu, tunggu,” kata Aura dari dalam kamar sebelum dia muncul membuka pintu.
“Kenapa, Ro?” sambut Aura setelah melihat sosok adiknya di muka pintu kamar. Auro menyambar masuk saja tanpa memberi satu jawaban.
Di dalam ruangan itu, penglihatan Auro sempat berkeliling di seluruh penjuru kamar, menatap seluruh yang ada di sana. Kamar yang sangat membosankan!
“Kenapa, Ro?” tanya Aura kedua kalinya, memecah keheningan di antara mereka.
“Itu … apa sih … eh, gua mau pinjem seragam lu, sama jilbabnya sekalian,”
“Ro, seriusan kamu mau pake jilbab? Alhamdulillaaah,” Amat bahagia Aura mendengar penuturan adiknya barusan.
“Buat nutup luka doang. Pinjemin aja kenapa sih, nggak usah bawel!”
“Ya udah, tunggu sebentar aku cariin ya,” sambar Aura semangat menggeleda isi lemarinya. Sembari ia sibuk mencari, Auro juga menyempatkan diri berkunjung ke meja belajar Aura, di sana dilihatnya beberapa tumpukan buku, satu buah laptop, dan kertas-kertas berserakan dengan coretan matematika.
Mata Auro sinkron berubah penat, dia beralih ke arah yang lain dan menemukan ban kapten seperti yang diberikan Arkan hari itu.
“Ra, ini punya siapa?” tanya Auro sambil menunjukkan temuannya.
“Oh itu, itu hasil jahitan sendiri, kebetulan ada sisa-sisa kain. Ambil aja kalo mau,” jawab Aura setelah menoleh.
“Enggak deh, gua udah punya. Kirain lu udah mau pindah haluan tadi sampai punya ginian segala, lu kan cupunya minta ampun soal olahraga,” hujat Auro tidak henti-hentinya.
“Ro …”
Mendadak panggilan Aura pilu berganti percakapan, berikut Auro meletakkan sembarang ban kapten tadi.
“Kamu yakin masih mau ikut tanding lagi?” sambung Aura masih sibuk mencari seragamnya juga.
“Tanggung, sisa satu pertandingan lagi, masa mundur?!”
“Ibun … udah izinin?” Aura terdengar sedikit canggung di pertanyaan tersebut.
“Tanggung. Diizinin atau enggak, aku bakal tetep ikut,” terang Auro tak ingin dibantah. Aura tak bergeming lagi hingga ia akhirnya menemukan seragam yang dicarinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
AURORA (END)
Teen Fiction"Nakal, bego, keras kepala, pembangkang, durhaka ... Sebenernya kelebihan gua apa sih, sampai harus nekad hidup di dunia ini?!" -Aurora *** Aku menjadikan diriku seperti bayaran atas...