Kepada yang hadir lagi, Arkan.
Aku ingin memberi tahu bahwa sebelum janji di hari kelulusan itu diikrarkan, aku pun pernah lebih dulu menaruh janji kepadamu, untuk bisa meluangkan waktu bertemu di hari-hari setelah kelulusan nanti. Namun, sepertinya aku salah, aku merasa tak bisa memenuhi janji tersebut sekarang.
Kalaupun kamu masih ingat janji itu tolong maafkan kelalaianku telah membuat janji, aku tak pernah menyangka bahwa akan jauh lebih sibuk lagi ternyata setelah hari kelulusan itu tiba. Kalaupun sudah lupa, tidak apa.
Aku juga hendak meminta izin pergi sekaligus meninggalkan rasa yang tidak bisa kupertanggungjawabkan.
Kepada sosok yang masih sama.
Kali ini judul suratku adalah ‘Aku’. Kuharap hilangnya surat ‘Kamu’-ku sudah sempat terbaca olehmu sehingga ketika membaca surat ini kamu sudah paham seluruh maksudku.
Kepada Arkan, yang mungkin tidak pernah berubah pada saudari kembarku, aku senang bahwa kamu masih bertahan pada rasa yang sama, tetaplah seperti ini agar kelak aku bisa menerima kamu dengan baik sebagai keluargaku juga.
Meski tak harus kamu bersama ‘aku’, bukan?
Ah iya, ada hal yang perlu kusampaikan kepadamu bahwa aku pernah merasa amat begitu senang, bahkan aku tak pernah sesenang itu sebelumnya. Bahwa aku pernah lepas dari bayangan gelap yang menghantuiku bahkan ketika aku terbangun sekalipun. Bahwa aku pernah melalui waktuku tanpa mengingat diriku menjadikan kamu sebagai objek ingatanku lagi.
Aku saat itu merasa sangat sibuk dengan tujuanku, aku ingin mendapatkan skor terbaik di penyaringan beasiswa untuk berangkat ke Finlandia. Selain itu aku juga terjun mendalami soal-soal internasional yang merenggut hampir semua waktuku. Aku memberanikan diri mengorbankan segala yang menurutku setimpal dengan beasiswa tersebut, termasuk waktuku dan kamu. Bagiku saat itu beasiswa adalah tujuan utamaku, aku tiba-tiba ingin berkuliah tanpa harus merepotkan Ibun yang telah membiayai 12 tahun sekolahku dan Abi yang semoga berbahagia di alamnya sekarang.
Kamu tahu apa yang terjadi di saat-saat itu? Di saat itu aku merasa diriku jauh lebih baik, kepalaku menjadi ringan, semua yang ada di sekelilingku seolah menormal kembali. Sayang saja perasaan itu ternyata tidak berlangsung lama. Awalnya kupikir aku telah berhasil melupakanmu, Arkan, nyataku aku salah. Aku hanya mengesampingkan bukan melupakan. Tak ada yang benar-benar pergi tentang kamu di setiap sendi ingatanku.
Dan sekarang aku menjadi sosok yang berharap kepergianku akan menghilangkan jejak tentang kamu lagi dalam hidupku kelak dan kalaupun suatu hari kita masih ditakdirkan bertemu aku berharap tidak lagi menjadi Aurora si pengagum senja sepertimu, melainkan menjadi diriku sendiri yang pernah dikenal sebagai satu dari empat orang sahabatmu saja bukan orang yang pernah mencintaimu serahasia mungkin. Atau mungkin akan kau kenal sebagai calon adik iparmu nanti.
Aku sepertinya harus menyatakan ini juga, bahwa sejujurnya aku pun tak pernah mau hadir antara kamu dan Aura, aku telah berusaha mengikhlaskanmu penuh kerelaanku, aku juga selalu berkeinginan agar kamu menemukan harapan besarmu itu, namun, entah kenapa selalu ada yang berteriak dalam diriku bahwa aku yang pantas Arkan, bukan Aura.
Aku jadi takut, aku takut menjadi sosok egois sekarang. Aku takut memaksakan kehendakku yang akan berbuah masalah antara aku, Aura, dan kamu. Aku sangat takut ketika kelak kamu membaca suratku ini. Jadi tolong, beri aku waktu untuk sejenak pergi meredam segala ego yang mengaitkan namamu agar kelak semuanya menjadi seperti semula lagi. Kita yang sebagai teman saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
AURORA (END)
Teen Fiction"Nakal, bego, keras kepala, pembangkang, durhaka ... Sebenernya kelebihan gua apa sih, sampai harus nekad hidup di dunia ini?!" -Aurora *** Aku menjadikan diriku seperti bayaran atas...