“Tuhan tidak pernah salah mempertemukan seseorang.”
—Aurora, 2018
ʕ´•ᴥ•'ʔ
ACARA makan malam kemarin benar terlaksana dengan penuh kecanggungan antara sang tamu dan anak dari pemilik rumah. Auro sama sekali tak menggubris segala pertanyaan yang hendak mendamaikan mereka, dia hanya diam membiarkan Willi yang menjawab dengan nada kebingungannya juga. Willi tak mungkin menceritakan jati dirinya yang sialan itu di hadapan keluarga Auro, bisa rusak reputasinya terlebih di hadapan Ibun yang telah menganggapnya manusia hampir sempurna.
Sehabis membersihkan diri di akhir pekan tersebut Auro tak punya tujuan lain selain naik ke atas loteng. Dibersihkan seluruh sudut di sana untuk ditempeli kertas foto yang terambil bersama tim basketnya di awal pertandingan kemarin.
Habis berberes, kaki satu persatu milik Auro termasuk kedua lutut lecetnya bekas pertandingan kemarin kini beralih turun. Namun, belum sampai ke bawah bahkan dia masih merayap pada tangga rahasia di samping lemarinya, Aura tiba-tiba masuk menerobos pintu. Mata Auro seketika terbelalak kaget, tidak kalah dengan Aura yang kagok mendapati pose adiknya seperti cicak begitu.
“Lu…?!” Auro tak tahu harus berkata apa, rahangnya seolah tergeletak lebih dulu di lantai. Begitu juga dengan Aura, Aura bahkan gemetaran melihat apalagi yang dilakukan Auro di hadapan matanya. Dia baru saja datang dari atas atap, kan?
“BISA NGGAK SIH LU NGGAK SEMBARANGAN MASUK?!!” cerca Auro menjadi geram. Ingin sekali diajari kakaknya cara mengetuk pintu agar tidak mengagetkan di situasi seperti sekarang.
“Ma-maaf, Ro, aku nggak sengaja!” balas Aura terbata-bata, “Ak-aku cuman mau ngasih tahu, bundanya Arkan dateng nyariin kamu,” lanjut Aura ketakutan.
Gaya merangkak Auro mendadak ikut heran mempertanyakan apakah pendengarannya tidak salah menangkap perkataan Aura barusan. Ada acara apa Bunda tiba-tiba datang mencarinya dan bagaimana dia tahu rumahnya? Secepatnya Auro turun menghampiri Aura terlebih dahulu.
“Awas kamu ngomong ke orang rumah soal barusan!” ancamnya lalu bergegas tak peduli, ia percaya Aura tidak akan macam-macam.
Ditemuilah seseorang di ruang tamu sana dan benar dia adalah ibunda Arkan. Auro langsung menyalaminya yang sedang mengobrol hangat dengan Abi dan Ibun.
“Bunda apa kabar?” Pertanyaan Auro membasa-basi.
“Alhamdulillah, baik,”
“Oh iya, kenalin Bun, ini Abi dan Ibunnya Auro,”
“Iya, tadi udah dikenalin Aura kok,” Bunda tersenyum.
“Auro, sebelum pergi sama Bunda, kamu pakai jilbab dulu gih,” titah Ibun yang langsung dibalas tak paham oleh Auro.
“Hah? Mau ke mana emangnya?”
“Temenin semalam Bunda di rumah, Arkan tadi izin nginap di rumah pelatihnya. Bunda jadi sendirian, makanya Bunda mau ngajakin kamu,” terang penjelasan Bunda kepada Auro.
“Oh gitu. Ya udah deh,” Auro mengangguk lalu masuk kembali hendak memenuhi persyaratan menginap dari Ibun, yakni memakai jilbab. Pintu kamarnya juga tak lupa dikunci rapat takut Aura atau siapa pun masuk menggeleda lotengnya dan menemui semua barang hilang yang dicari dulu. Bisa dipotong tiga tangan kancilnya itu.
“Ibun, Abi, Auro pamit ya,”
“Iya, jangan nakal di rumah Bunda,” pesan Ibun.
“Siap, Bun,”
“Bu Rika, titip jilbab anak saya ya. Kalau dicopot, pukul aja nggak apa-apa,” lanjut Abi memesan.
“Iya, Pak Ahmad, kalau begitu kita pamit dulu ya. Bu Andita, Pak Ahmad, pamit. Assalamualaikum.” ucap Bunda diikuti Auro yang mencium punggung tangan orangtuanya sebelum dia pergi bersama ransel bawaannya di punggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
AURORA (END)
Teen Fiction"Nakal, bego, keras kepala, pembangkang, durhaka ... Sebenernya kelebihan gua apa sih, sampai harus nekad hidup di dunia ini?!" -Aurora *** Aku menjadikan diriku seperti bayaran atas...