Seminggu berlalu, tidak ada yang berubah dari keseharian Adken. Ia rutin mengerjakan laporan tugas akhirnya dan melakukan bimbingan dengan dosen. Namun sedikit tambahan, ia selalu menyempatkan waktunya untuk menghubungi Gantari walau hanya sebentar. Mereka lebih sering berhubungan via panggilan suara atau panggilan video, ketimbang bertukar pesan melalui chat.
Hari ini, tepatnya hari minggu, akhirnya Dito kembali ke Surabaya. Adken tidak mau membuang-buang waktunya, karena Adken sudah cukup sabar selama 10 hari ini menahan rasa penasarannya akan sesuatu yang belum terkuak. Maka dari itu ia harus mengorek informasi apapun itu untuk menutupi rasa penasarannya tentang takdir hidupnya yang aneh. Dan Dito adalah orang yang tepat sebagai narasumber. Adken dan Dito memutuskan untuk bertemu dikediaman Dito.
🌵⚘🌵
"Ini buku yang dikasih Bulik aku buat kamu," ujar Dito sembari menyerahkan sebuah buku kepada Adken.
Dilihat dari bentuknya, buku itu nampak seperti buku mantra kuno. Namun uniknya, sampul buku tersebut terbuat dari kayu bahkan terdapat beberapa pahatan yang mengelilinginya, serta ada pahatan berbentuk mahkota raja ditengah-tengah sampulnya. Buku tersebut terkunci dengan rapat, yang entah berada dimana kuncinya. Namun jika diraba dari sisi atas maupun sisi bawah buku tersebut, jelas sekali lembaran yang berada didalamnya bukan terbuat dari kertas, melainkan dari lembaran daun lontar.
Daun lontar biasa digunakan orang zaman dahulu untuk wadah menulis, karena zaman dahulu belum ada kertas. Berarti sudah jelas jika buku yang sedang Adken pedang ini adalah buku kuno yang usianya sudah sangat tua. Walaupun belum membukanya, Adken bahkan dapat menebak isi didalamnya juga bertuliskan huruf Palawa.
"Buku apa ini? Bagaimana cara membuka kuncinya?" tanya Adken penasaran.
"Sebelum kita membahas buku, aku mau jelasin kekamu dulu tentang bulik aku itu. Dan ku harap kamu bisa menjaga rahasia sama seperti aku menjaga rahasia kamu," jelas Dito dengan tegas.
"Baik, kamu bisa percaya sama saya," jawab Adken.
Dito memulai cerinta.
"Seperti dugaanmu kalau Bulik Ire adalah praktisi Hoodoo, yah kamu benar. Waktu itu aku nyebutnya dukun, agar lebih mudah dimengerti saja, karena masih banyak orang Indonesia yang tidak tau Hoodoo.
Hoodoo berbeda dengan Voodoo, walaupun keduanya sama-sama berakar dalam budaya Afrika. Perbedaan utamanya adalah Hoodoo merupakan sihir rakyat, dan Voodoo merupakan agama, dengan Pendeta Voodoo sebagai pemimpin agamanya. Praktisi Voodoo disebut 'Vodouis' yang artinya 'Hamba Roh', mereka memohon kekuatan doa pada dewa-dewa Afrika.
Namun yang akan kita bahas lebih mendalam kali ini adalah Hoodoo, bukan Voodoo. Kamu adalah orang Sejarah Ken, kalau kamu penasaran, saya yakin kamu tau bagaimana caranya mencari informasi sejarah tentang Voodoo, jadi kamu bisa mencari tahunya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Legenda Patung Jayashree [TAMAT]
Historical FictionAdken merupakan mahasiswa jurusan sejarah, yang memiliki ketertarikan tinggi dengan sejarah, legenda, dan cerita rakyat. Di tahun terakhirnya kuliah, ia diharuskan melakukan observasi tentang 1000 patung peninggalan sejarah, untuk tugas akhirnya. Ko...