TUJUH

748 88 1
                                    

"STOP !!" Jumi emang kelewatan kalau bikin orang kesal. Bisa-bisanya main nyelonong aja. Tidak liat jam apa ? Udah tau Gigi kesiangan. Nanti kepala pak Hendra nambah melar liat bawahannya telat. Telat satu menit aja bisa ngomel 2 jam.

"Berapa sih kalau nggak teriak !?" Gigi kasih helm sama Jumi. Mengabaikan pertanyaannya. Bukan mau sombong, tapi harus cepat masuk. "Sana masuk nyuk."

"Makasi ya, nyet." Gigi lari sebelum helm melayang ke arahnya. Tau sendiri Jumi, kalau lagi PMS. Tanggal dia emang lagi pms, makanya agak sensi. Tapi, mau kagak pms juga, tuh mahluk tetap galak. Kadang kasian sama jodohnya nanti. Pasti Jumi akan merasa selalu bener. Lupakan Jumi, waktunya kerja cari cuan.

"Gue nggak liat mobil lo, naik apa ?"

"Sejak kapan Dim, gue bawa mobil ?" Rasanya lihat wajah Dimas pengen banget di geplak. Nyinyir banget padahal. Gegayaan nanyain mobil segala. Boro mobil, rumah aja belum kelar renovasi. "Sarah mana ?"

"Udah masuk." Alis Gigi naik satu, merasa ada yang aneh. Mereka tuh kayak apa ya, nempel terus. Di manapun ada Sarah, pasti di situ ada Dimas. Tumbenan masuk gedung nggak barengan. "Belum juga mobil parkir, udah kabur tuh anak."

"Nggak lihat jam berapa, Dim ?" Gigi acungin jam tangan ke arah Dimas yang mencibir. "Bentar lagi kepala pak Hendra udah nangkring."

"Kampret lo." Gigi hanya tertawa kecil, sampai juga di ruangan. Acong dan Sarah keliatan asik, pasti lagi gibah. Nggak ngajakin banget buat gibah. Duh ilah, mana bentar lagi jam kerja.

"Sar, geser." Sarah menoleh, lalu melihat ke arah Dimas. Sehari nggak bisa kali ya, kalau nggak lihat Dimas. Kenapa mereka tuh nggak pacaran aja gitu lho. Toh udah sama-sama dari bayi, bahkan dalam perut.

"Kursi lo, sebelah Acong. Main-main ya, lo."

"Gue ingin merasakan kursi kanjeng sarah." Dan kepala Gigi dapat geplakan. Sarah sama Jumi kalau di satukan, mantap. Pada galak. Demen banget dah mukul.  "Sakit bego."

"Nggak peduli." Katanya yang tidak mau geser duduk. Dahlah ngalah. Duduk di kursi sendiri aja yang nyamannya nggak ada duanya. "Tuh duda kesayangan lo."

Lalu Gigi mellihat pak Shaka melintas, tatapan ramahnya terlihat jelas. Dia sepertinya menanggapi sapaan. Apalah daya yang hanya kacung ini, bisanya memandangi. Gigi sama pak Shaka ibarat langit dan Bumi. Laki-laki seperti pak Shaka sepertinya tidak mungkin tertarik sama seorang Anggi yang notabene punya kehidupan bebas. Apalagi yang demen makan. Dan jangan lupakan yang suka gibah. Tambah juga, suka nongkrong di mana aja. Asal judulnya duduk bareng teman.

"Pepet sana." Acong mendorong bahu Gigi, yang mana saat ini pak shaka melewati meja kerja kami. Andai saja bisa, udah dari tadi. Masalahnya Gigi selalu hilang kendali. Kalau saja di dunia ini ada yang sempurna, pak Shaka orangnya.

"Yailah lemot ini anak." Gigi mendengus kalau mendengar gerutuan Dimas. Lihat Acong, hanya menertawakan aja. Lebih tepatnya ketawa meremehkan. Sarah, perempuan itu hanya mengangguk dengan senyuman. Seolah memberikam semangat pada Gigi. Gimana ya, agak ragu mau deketin pak Shaka. Mana teman bang Ray, gimana ceritanya coba Gigi kejar.

"Main taktik lah, sabar. Pada ngegas aja, lo pada."  Ketiganya mencibir. Mereka ini tidak sabaran, dan sepertinya ada rencana busuk di antara mereka. Mana mungkin dengan cuma-cuma mau dukung Gigi deketin bos besar. Halah, ada maunya pasti. Biarkanlah, lebih baik kerja dulu baru mikir cara deketin pak Shaka. Entah mengapa dan gimana bisa Gigi langsung jatuh hati pada pandangan pertama. Padahal, Jumi sudah meningatkan Gigi agar jangan terlalu berlebihan. Jumi juga sebenarnya udah ngelarang janganq deketin pak Shaka. Tapi namanya hati, susah buat di larang. Benar-benar definisi cinta itu buta.

ANGGI MAHARANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang