TIGA PULUH DUA

766 99 3
                                    

"Akhirnya gue ketemu sama lo."

"Lah?"

"Lo kagak inget?" Orang tersebut menggelengkan kepalanya, merasa memang tidak ingat siapa pria di hadapannya. "Gue Sadam, teman Edgar."

"Kapan kita ketemunya?"

"Dua hari yang lalu di tempat makan sate."

"Oh." Sadam mengangguk tersenyum. "Daya ingat gue buruk, jadi gue lupa."

"Padahal lo ngobrol sama gue. Masa lupa?"

"Siapa lo, harus gue inget."

"Kagak penting masalah ingat atau kagak." Sadam melihat kiri-kanan. "Gimana hubungan Edgar sama Gigi?"

"Kenapa emang mereka?"

"JUMi!!"

"Ya, apa? Astagfirullah, kagak usah teriak. Di Rumah sakit coy."

"Lagian otak lo, taro mana sih!?"

"Mentang-mentang Dokter, mainnya letak otak."

"Dah lo diem, kita bahas hubungan Edgar sama Gigi." Jumi tersenyum sinis. Saatnya membuat ulah. Sekali-kali menakuti Dokter, tidak salah. "Malah ngelamun ini anak."

"Pokonya hubungan mereka dingin."

"Kayak gimana dinginnya?" Sadam mulai tidak nyaman, tangannya bertautan. Rasa penasarannya menggebu ingin segera tau. "Jumi."

"Pulang dari tempat sate, Gigi ke apartemen gue. Nah, dia ngelamun aja, kayak orang gila."

"Masa sih?"

"Kagak percaya ini anak." Jumi mengambil ponselnya, lalu memperlihatkan photo Gigi yang mana pernah Jumi kirim ke Edgar. "Liat kan? Noh tatapannya kosong."

"Gue jadi ngerasa berasalah. Nggak ada waktu mau temui si Edgar."

"Parahnya lagi, ya."

"Masih ada?" Kepala Jumi mengangguk mantap. "Astagfirullah, gue semakin merasa bersalah sama mereka."

"Jam tiga pagi, si Edgar datang ke apartemen gue."

"Terus?"

"Mereka berdua kayaknya ngobrol."

"Lalu?"

"Paginya, gue lagi sarapan sama Edgar, Gigi main kabur aja ninggalin kita berdua. Gigi kalau marah, beeehhh rumah bisa ancur."

"Separah itu?"

"Lo kagak tau aja sofa di apartemen gue, jungkir balik ulah Gigi."

"Ya Allah, gue mesti gimana dong?"

"Mana gue tau." Jumi menahan tawanya. Matanya menangkap raut wajah Sadam nampak khawatir."Tadi aja ketemu gue, masih datar mukanya. Biasanya kita berdua kalau ketemu, saling sapa, pelukan, dan saling menghujat."

"Lo bisa atur pertemuan gue sama mereka?"

"Emang lo anak presiden?" Sadam menggeplak bahu Jumi. "Lagi main nyuruh. Tinggal telpon si Edgar, kelar."

"Kalau nggak di angkat, gimana?"

"Heh Sadam anaknya madam, lebay amat. Lo bisa samperin mereka ke kantornya."

"Lo tau alamat kantornya?"

"Lo nggak tau?" Kepala Sadam menggeleng cepat. "Mengsedih gue liatnya."

"Kirim alamatnya ke gue."

"Kirim lewat mana? Idung lo?"

"Oh, sini hape lo."

"Mau ngapain?" Sadam sudah merebut hape milik Jumi. "Heh, ngapain lo?"

ANGGI MAHARANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang