Gigi duduk di sofa apartemen milik Jumi. Jangan tanyakan wanita satu itu, paling lagi mandi. Gigi masih terbayang kejadian tadi. Apalagi melihat wajah Edgar yang tidak bersahabat. Lagi dan lagi Gigi harus merasa bersalah. Sialan memang Jumi dan Sadam. Apa perlu Gigi racunin dua manusia itu.
"Masih marah, lo?"
"Gimana perasaan lo, saat ada hati yang di jaga, malah masa lalu yang jadi topik pembicaraan?." Jumi terdiam membisu, lalu menatap Gigi. Kali ini Jumi mengakui dirinya salah. "Lo nggak tau Jum saat kalian terus bahas Jevan, tangan Edgar sudah mengepal."
"Maaf, Gi."
"Gue sedang mencoba menjalani hubungan serius, Jum." Gigi menghela nafas berat. "Gue udah harus punya tujuan dalam hubungan. Kalau lo masih berharap punya pacar, itu mau lo. Gue, berharap punya suami."
"Gi,"
"Gimana gue berhadapan sama Edgar, Jum?" Gigi sesenggukan, ia takut percintaannya akan berakhir lagi. Gigi juga sadar, ini bukan salah Jumi. Seharusnya saat pembicaraan mengenai masa lalu, Gigi bisa mencegahnya. Apalagi Edgar juga tidak banyak bicara, ia hanya diam sepanjang di perjalanan tadi.
"Gue jelasin sama Edgar." Kepala Gigi menggelang, takut semakin runyam. Lalu Jumi memeluk Gigi, menenangkannya. Jumi merasa bersalah jadinya. Mungkin Gigi sudah mulai capek memulai hubungan baru, lalu berakhir.
"Gue lagi memulai hubungan serius."
"Udah Gi, lo lagi ketakutan sebenarnya. Edgar bukan anak kecil, gue rasa dia pasti mengerti."
"Kalau nggak?"
"Lo kasih pengertian, pelan-pelan."
Jumi menatap Gigi iba. Bukan pertama kali Jumi meledek kisah percintaan Gigi, dan respon Gigi juga akan biasa saja. Tapi kali ini, Jumi sampai kebingungan. Gigi sampai segininya. Dulu kalau Jumi ledekin, Gigi pasti balik meledek.
"Gigi." Gigi menggeleng, ia tidak mau menatap Jumi. Ketakutan hubungannya akan berakhir, selalu saja terbayang di wajahnya. Gigi tidak mau lagi punya kenangan lama. Gigi ingin hubungannya kali ini benar-benar bertahan lama
"Lo tidur aja, Jumi." Dengan berat Jumi meninggalkan Gigi, dari pada ada pertengkaran. Jumi memilih mundur, untuk membiarkan Gigi tenang.
Jumi sudah masuk ke dalam kamar, Gigi masih terbaring di sofa. Bahkan Gigi tidak mengaktifkan ponselnya. Gigi belum siap menerima pesan apapun dari Edgar. Sesaat ia berpikir, lalu beranjak. Sepertinya akan lebih baik pulang saja, padahal sudah dini hari. Tujuan paling tepat memang rumah sendiri.
"Edgar?" Wajah kaget Gigi terlihat jelas, ketika membuka pintu mendapatkan sosok Edgar yang kini berdiri dengan kerutan di dahinya. Gigi masih menatap Edgar yang juga kini menatapnya.
"Gi," Edgar bisa melihat jelas mata sembab Gigi, belum lagi rambutnya acak-acakan. Baju Gigi juga sudah mirip habis di berantem dengan tetangga, tak karuan. "Masuk."
"Aku, itu mau---
"Masuk dulu." Edgar mendorong bahu Gigi, hingga keduanya duduk di sofa. Kali ini Gigi tegang, tangannya sudah gemeteran. Edgar datang ke sini, pasti akan membahas perihal tadi. Akan lebih baik Gigi diam saja.
"Ed, aku tau ini bukan waktu tepat. Tapi--
"Minum dulu."
"Hah?" Gigi melongo, lalu menerima gelas dari Edgar. Ini sebenarnya Edgar sedang apa. Gigi hanya perlu menjelaskan perihal perasaannya, lalu meyakinkan Edgar. Gigi tau, ia rasanya tidak pantas terlalu berharap. Gigi juga malu mengingat saat di pernikahaan sang mantan, dan mengapa harus bertemu Edgar kala itu.
"Berdiri sini." Gigi seperti terhipnotis, menurut saja ketika tangannya di tarik oleh Edgar. Sungguh, Gigi ingin menolak. Hanya saja, Gigi takut ini adalah terakhir ia merasakan sentuhan Edgar.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGI MAHARANI
HumorAnggi Maharani yang di kenal ceria dengan gaya cablaknya, siapa sangka harus merasakan patah hati sebelum berjuang. Menyukai atasan, adalah perjuangan yang menarik. Namun, di tengah bahagianya kala hati merasa menang, Anggi mendapatkan kenyataan yan...