TIGA PULUH SEMBILAN

2.4K 132 13
                                    

Gigi memasuki kantor dengan wajah baru. Tidak masalah perihal Direktur baru, asal Gigi nyaman kerjanya. Dengar-dengar, Direkturnya masih muda.

Edgar.

Pria itu sama sekali belum menuminya, dan Gigi juga perlu memahami situasti. Apalagi, Edgar baru saja keluar. Tidak ada yang tau dengan perasaannya, pun dengan Gigi.

"Bareng siapa, Gi?"

"Sarah sama Dimas, bang."

"Lah, terus mana tu anak berdua?"

"Masih di parkiran, ketemu sama desainer."

"Orang kaya beda, di samperin langsung." Gigi mengangguk setuju. "Apalah kita, mau nyamperin aja, nyari diskon."

"Emang mbak Wita udah setuju?" Gerakan tangan Wisnu terhenti, keduanya saling menatap. "Gue udah tau, bang."

"Ya, gitu lah pokonya."

"Pake salting segala." Gigi tertawa kecil. Sarah dan Dimas sudah datang, mereka sibuk dengan pembahasaan acara lamaran.

"Anggi!!" Gigi menoleh ke arah meja Wita. Lalu berjalan menghampiri sekertaris menyebalkan itu. "Suruh ke ruangan."

"Sama Direktut baru?"

"Iye. Sana masuk." Sebelum masuk, Gigi merapikan bajunya. Tarik napas, buang napas. Gigi berjalan pelan, dan ia harus menghadapi atasannya yang baru. Ini bukan Edgar, yang mudah Gigi taklukan. Ya Tuhan, tangan Gigi saja sampai gemeteran.

"Permisi." Orang tersebut menoleh, lalu mengangguk. "Ada yang bisa saya bantu, pak?"

"Iyah."

"Soal?"

"Tuh di sofa." Gigi berbalik badan, hampir saja terjengkang terkena tembok. Napasnya bergumuruh hebat, bahkan wajahnya terlihat pucat. "Jangan ganggu kerjaan gue Edgar, keluar."

"Saya cuma sebentar doang, Tar."

"Kebiasan lo, nih." Gigi masih mematung, deru nafasnya belum normal. Ia masih menatap Edgar yang dengan santainya duduk manis di sofa. Dalam hati, Gigi terus istighfar.

"Pinjam karyawan." Ujar Edgar, lalu menarik Gigi begitu saja. Gerakannya yang cepat, tidak bisa untuk di hindari. Andai bukan di kantor, Gigi pasti sudah melakukan kekerasan pada Edgar. Bagaimana tidak, menjadi pusat perhatian ulah Edgar. Dengan mudahnya, Edgar menarik lengan Gigi hingga melewati para karyawan.

Termasuk empat manusia yang melongo melihat tindakan Edgar. Salah satu di antara mereka, yakni terlihat kaget.

Dimas, memang siapa lagi manusia yang terlalu berlebihan.

"Ed."

"Saya tau banyak pertanyan di kepala kamu, tapi tolong masuk dulu."

Baiklah, Gigi mengalah saja. Ia juga tidak mau menjadi tontonan gratis. Apalagi kini sedang berada di parkiran.

"Sebelum saya jawab pertanyaan kamu, saya mau kamu dengarkan dulu."

"Soal apa?"

"Dito dan Padil." Akhirnya, Gigi tidak perlu menambah pertanyaan pada Edgar mengenai dua pria yang memewancarainya. "Mereka memang benar, karyawan saya."

"Karyawan!?" Edgar mengangguk meringis karena mendengar teriakan Gigi. "Kalau mereka pegawai kamu, itu artinya?"

"Iyah."

"Apa? Aku belum jelasin." Edgar terkekeh geli, melihat wajah kesal Gigi. "Jadi ternyata kamu pemilik salah satu stasiun tv, canel apa?"

"Etv".

ANGGI MAHARANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang