Gigi mampir di coffee shop, tempat ngopi anak muda. Lebih enaknya, dekat dengan rumah Gigi. Tinggal keluar komplek, ketemu tempatnya. Sebenarnya tempat nongkrong Gigi dan Jumi, kalau lagi malam mingguan atau pengen main. Berhubung udah malam, tidak mungkin Gigi telpon Jumi suruh nyusul.
"Ada rasa baru lho, mbak Gigi."
"Rasa apaan? Gebetan nyangkut?."
"Bukan." Gigi terkekeh. "Rasa suka dari dulu."
"Sama aja rasa kopi, Di."
"Beda mbak. Mau cobain? Di jamin mantap."
"Yang bikin nama rasa siapa?"
"Bini bos, elah."
"Nggak pernah liat gue, bos lo."
"Mau gue jodohin kagak?"
"Mending gue jomblo timbang sama suami orang."
"Halah gaya. Paling liat bos langsung kelepek-kelepek kayak ikan kurang air."
"Di, pesenan gue kayak biasa. Betewe mau di bawa pulang." Gigi mengabaikan godaan Didi. Bayangan Shaka dan Siera mendadak muncul di benak Gigi. Suami orang? Bukankah Shaka duda? Tidak salah dong, Gigi menyukai Shaka. Sekarang, Gigi juga sadar diri. Tidak bisa di paksakan, apalagi untuk perasaan. Terlebih Shaka tidak ada rasa terhadap Gigi. Lantas untuk apa, Gigi masih berharap?
"Oke mbak Gigi."
Namanya Didi, pekerja di coffee shop tempat langganan Gigi. Bahkan semua karyawan sudah kenal Gigi. Bagaimana tidak kenal, Gigi sering nongkrong di situ, sendirian pula. Tapi, kadang sama Jumi, itupun kalau Jumi pulangnya lebih cepat.
"Nih, mbak." Gigi menerima pesannanya, lalu membayar. Lain kali Gigi ajakin teman kantornya nongkrong di situ, pasti asik. Terlebih Sarah pencinta kopi. Kalau ingat Sarah, Gigi selalu ingat nasehat Sarah. Agar jangan terlalu berharap pada apa yang sedang Gigi sukai.
Melewati rumah Jumi, dan sangat kebetulan sekali. Gigi belikan kopi untuk Jumi juga. Pasti Jumi heboh melihat Gigi bawa oleh-oleh.
"Masih magrib udah nongkrong. Depan rumah lagi."
"Baru pulang?"
"Namanya kerja pea." Jumi terbahak, masih santai duduk di kursi teras. "Nih kopi, mau kagak?"
"Maulah. Masa gue melewatkan geratisan."
"Guru macem apaan kayak gitu?"
"Macam gue." Jumi menerima satu kantong plastik. "Magriban di mana?"
"Mesjid biasa."
"Lagi banyak kerjaan?"
"Lumayan." Gigi sudah siap stater motornya. Rasanya badan Gigi capek seharian ini. Ingin segera sampai rumah, lalu merebahkan diri.
"Jum, gue letakin di meja!" Suara yang tidak asing, sedikit melihat ke arah teras rumah Jumi. Badan Gigi membeku, matanya menatap ke arah teras. Rasanya tangan Gigi susah di gerakin. Pun dengan sosok yang kini tengan berdiri, menatap Gigi. Segera Gigi memutusakan tatapannya.
"Lo denger kan?" Tanya Jumi antusias. "Itu Edgar, ingat?"
"Iyah."
"Lo pasti kangen. Turun dulu, sapa dia." Gigi memakai helm, siap melaju. Tidak, Gigi lebih baik pergi. Entah apa maksud semuanya, Gigi merasa harus memundurkan diri.
"Gue mau mandi, Jum.".
"Yailah gaya. Yaudah mandi sono." Gigi mengangguk, lalu pamit melaju ke arah rumahnya. Padahal mereka bersebrangan, namun rasanya begitu lama bagi Gigi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGI MAHARANI
HumorAnggi Maharani yang di kenal ceria dengan gaya cablaknya, siapa sangka harus merasakan patah hati sebelum berjuang. Menyukai atasan, adalah perjuangan yang menarik. Namun, di tengah bahagianya kala hati merasa menang, Anggi mendapatkan kenyataan yan...