SEMBILAN BELAS

750 101 3
                                    

"Alasan kalian tidak mengundang kita karena lupa?" Itu suara ibu, Gigi dan ayah berusaha menenangkan ibu. "Atau takut di gagalin?"

"Mbak bukan gitu, kita hanya berniat menghargai perasaan Gigi."

"Tapi nggak begini caranya Reni." Nafas ibu sudah tidak beraturan dengan tempo normal. "Justru dengan begini, malah menyakiti kami. Saya juga tidak akan memohon untuk Jevan harus kembali dengan Gigi. Kalian tidak perlu takut anak saya akan menghancurkannya."

"Bu, udah ya. Tenang dulu." Gigi mengusap peluh keringat di dahi ibunya. Melirik ke arah sang ayah, hanya sekilas.

"Bang Rizal, Reni nggak ada maksud-- maaf."

"Begini caranya memutuskan silaturahmi?" Kini, semua menoleh cepat ke arah ayah Gigi. Setelah tadi sudah salaman, akhirnya ada moment di mana sang pengantin istirahat untuk ganti baju dan makan. Dan kesempatan bagi ayah Gigi untuk menanyakan perihal acara tersebut. Kini semuanya kumpul di dalam kamar ruang ganti.

"Bang Rizal, maaf."

"Kamu tau Indah?" Ayah Gigi menoleh, menatap adik keduanya. Orang yang di panggil Indah, menggeleng. "Kamu sama sekali nggak tau, kalau suami Aisyah mantan Gigi?"

"Indah baru tau tadi pas abang datang." Katanya dengan wajah menunduk. Gigi mengusap punggung ayahnya, memberikan senyuman tenang. Jujur, Gigi tidak masalah perihal mereka menikah. Namun, mengapa harus dengan cara bersembunyi dari keluarga Gigi.

"Ayo pulang." Ibu sudah berdiri, mengabaikan ucapan orang-orang di sana. Semua tengah membujuk ibu Gigi, agar tetap tenang dan menyelesaikannya dengan baik. Jevan dan Aisyah memilih diam, sama sekali tidak berkutik. Gigi yang melihat genggaman tangan mereka, hanya bisa tertawa miris.

"Oh, maaf mengganggu." Suara dari arah luar mengalihkan semua tatapan yang berada di ruangan. Termasuk Gigi. "Jev, selamat. Sory banget gue nggak bisa lama, mau dinas."

"Makasih Faris." Jevan yang menjawabnya, namun kembali diam. Padahal Gigi tidak merasa tersakiti, atau mungkin marah. Kenapa mereka memilih diam, ketimbang menjelaskannya. Supaya tidak salah paham.

"Oh ini teman gue, nemenin gue." Saat itu juga Gigi mengangkat wajahnya, menemukan bola mata yang indah. "Pokonya selamat langgeng."

"Selamat." Suara itu, sama sekali tidak akan pernah asing masuk ke dalam telinga Gigi. Akhirnya Gigi memutuskan tatapannya, beralih menggenggam tangan ibunya.

"Yuk, pulang." Sejak tadi pria yang hanya mengucapkan satu kata doang, tidak melepaskan tatapannya ke arah Gigi.

"Lo duluan, gue ke sana."

"Mau ke mana?" Tatapannya ke arah Gigi dengan senyuman manis. "Kenal?"

"Iyah." Pria tersebut berjalan melewati orang-orang yang sedang membujuk ayah Gigi. Meminta untuk di bicarakan supaya tidak salah paham. "Gigi."

"Ed," pria tersebut jongkok di samping Gigi, mengelus kepala Gigi. "Kenal sama pengantinnya?"

"Nggak, cuma nemenin Faris." Kepala Gigi mengangguk, lalu menoleh ke arah pengantin yang tidak berkutik sama sekali. "Kenapa di sini?"

"Pengantin perempuannya, sepupu gue." Edgar mengangguk tanda paham. Padahal dirinya sudah tau perihal acara menikah tersebut. Mana mau Edgar datang ke acara nikahan, apalagi tidak mengenal. Semua sudah di atur sedemikian rupa oleh Acong. Faris memang teman kuliah Edgar, dan sangat kebetulan Faris ternyata rekan kerja Jevan. Dan Edgar membuat rencana seolah dirinya menemani Faris.

Padahal Edgar tidak mau melihat Gigi sedih.

"Keluar dulu, biar orangtua kamu bicara baik-baik."

"Ibu lagi emosi."

ANGGI MAHARANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang