TIGA PULUH LIMA

772 103 13
                                    

"Wah!! Bayar berapa nih, biar bisa bawa cowok ganteng?" Gigi mendengus, meski begitu, tetap saja menyalami abangnya. Wajah tengil abangnya, sudah terbaca oleh Gigi.

"Itu calon adik ipar kali, bang." Sela Elang dari arah sofa, tengah asik main game. Gigi memicingkan matanya, merasa ada yang aneh kala Elang berada di rumah abangnya. Remaja satu ini, memang pintar mengambil kesempatan dalam kesempitan.

"Parah Gi, masa Elang duluan yang kenal? Harusnya gue sebagai abang."

"Sejak kapan mau tau urusan gue?"

"Gini-gini gue, abang lo."

"Ya, begitulah." Kata Gigi males. Edgar hanya tersenyum kala semua menatap ke arahnya, lalu di tuntun Gigi agar duduk di sofa. "Ibu sama ayah, gimana keadaannya?"

"Keadaan apa?" Tanya ibu belum paham dengan arah pembicaraan anaknya.

"Berita yang lagi rame, ibu pasti tau."

"Ayah sama ibu lebih takut kamu yang keadaannya buruk." Mendengar perkataan ayahnya, Gigi beringsut memeluk pria paruh baya yang sudah tidak muda lagi. Ayahnya selalu melindungi anak-anaknya. Lebih mengkhawatirkan Gigi daripada dirinya sendiri.

"Lagian si Shaka, udah di bilangin sama ibu. Cari calon istri tuh pake hati, bukan wasiat." Gigi terkekeh, tangannya mengusap bahu ibu. Elang, turun dari sofa, memeluk budenya. "Belum tentu adik dan kakak punya sifat yang sama."

"Bude, minum dulu mending." Elang memberikan gelas berisi air mineral, lalu di terima oleh budenya. Entah perasaan Edgar atau hanya kebetulan saja, ibu Gigi sejak tadi tidak melepaskan tatapannya. Padahal lagi berbicara dengan yang lain, tetap saja matanya mengarah pada Edgar.

"Apa ibu jodohin aja sama Jumi?" Edgar dan Gigi saling pandang, mendadak suasana jadi canggung. Shaka dan Jumi menyatu, nangisnya jadi duit.

"Kenapa harus Jumi?"

"Terus, maunya kamu?" Gigi menyengir, kepalanya mengangguk. Edgar hanya bisa terkekeh melihat tingkah kekasihnya. Jangan berpikir Edgar cemburu, sama sekali tidak. Gigi dan Edgar sudah dewasa, tau mana pembicaraan serius atau hanya candaan belaka. Lagipula, mana bisa Gigi dengan Shaka. Memangnya orangtua Shaka bakal setuju? Belum tentu.

"Telat." Gigi melepaskan pelukannya dari sang ibu, yang sejak tadi gelendotan. "Harusnya dulu."

"Kalau dulu ibu jodohin kamu sama Shaka, nggak bakal kamu ketemu Edgar."

"Kan dulu, bu."

"Mau dulu atau sekarang, gue nggak setuju." Sela bang Raihan dengan mata melototnya. Gigi memutar bola matanya jengah. "Yakali teman gue jadi adik ipar. Ih nggak bisa gue nerimanya. Paling benar udah buat Jumi. Kasian adik abang yang satu itu, jomblo terus hidupnya."

"Atur sama kalian." Gigi berdiri, manaruh tas miliknya di sofa. "Aku mau ambilin minum buat Edgar, jangan pada macem-macem."

"Posesif amat mbak." Ledek Elang dengan wajah menyebalkan. Gigi menggeplak bahu Elang, lalu pergi ke dapur. Kini, semua menatap Edgar dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Btw, kita belum kenalan." Raihan mengulurkan tangannya, di sambut Edgar dengan santai. "Yah, pasti Gigi udah cerita siapa gue."

"Tidak terlalu banyak. Yang saya tau, abangnya."

"Mantap lo, bang. Di akui tuh sama mbak Gigi." Sela Elang dengan tangan yang fokus memainkan ponselnya. Raihan melempar bantal sofa, hingga mengenai kepala Elang.

"Diem bocah, sana ajak Syara main."

"Kalau ada wartawan gimana?" Kata Elang mendongkak, menatap Raihan. Mata belonya terlihat jelas. Elang memiliki mata yang bulat, dan tatapan tajam. Meski bagitu, Elang tetap memiliki sikap yang baik.

ANGGI MAHARANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang