TIGA PULUH TUJUH

837 106 22
                                    

Napas Gigi tidak beraturan, sampai tangannya masih di atas meja. Matanya terpejam menghela nafas perlahan, lalu berdiri tegak. Haruskah Gigi melawan Seira, yang notabenenya seorang aktris? Gigi takut, akan membuat masalah baru. Oh Tuhan, rasanya Gigi menyesal kala dulu mencoba mendekati Shaka. Akibatnya, ia jadi kambing hitam.

"Gi, udah." Kata Wita, lalu menarik tubuh Gigi agar tenang. Dimas dan Sarah, masih memilih diam.

"Seira." Gigi berdiri, tangannya mengusap kepala frustasi. Sungguh, ini menguras pikiran Gigi. "Masalah kita sudah selesai, saya sudah menanggapi berita hoax itu. Jadi tolong, berhenti mengganggu kenyamanan saya."

"Siapa kamu?" Tangan Gigi hampir saja mendarat di wajah mulus Seira. Susah sekali perempuan satu ini. "Saya tidak suka di atur."

"Tidak mau di atur, tapi bisanya ngatur?" Gigi terkekeh sinis. "Perlu sadar diri."

"Kamu pikir ini sudah berakhir?" Gigi bisa melihat jelas senyuman licik Seira. "Saya tidak akan membiarkan--

"Berhenti Seira." Semua menoleh, mendapatkan Shaka yang kini berjalan ke arah mereka. "Ayo, kita bicarakan baik-baik."

"Waw, niat sekali kamu datang ke sini." Shaka menghela nafas berat. "Atau jangan-jangan isu itu benar? Ya bisa aja kan, apalagi satu kantor."

"Seira, berhenti menyalahkan orang lain."

"Lho? Gosip adalah fakta yang tertunda." Tangan Gigi mengepal kuat. Matanya sudah mengeluarkan rasa perih saking kesalnya. "Buktinya kamu ke sini, untuk apa? Belain karyawan? Kayaknya nggak mungkin deh belain seorang karyawan. Eh, atau yang Gigi tadi katakan calon suami itu, kamu?"

"Semakin melantur kamu."

"Ini benar lho, pas banget dengan klarifikasi Anggi, terus kamu datang belain dia."

"YA SEIRA!!" Semua menutup kuping, kala mendengar teriakan Gigi. Tanpa terduga, Gigi menarik kerah baju Seira. "Otak lo cuci sana, overthingking mulu. Gue sama bang Shaka, kagak ada hubungan lebih."

"Jangan munafik, Gi." Seira terkekeh kala merasakan tarikan yang begitu kuat di arah baju lehernya. Tenaga Gigi memang tidak main-main.

"Hubungan lo kandas, nyalahin orang lain. Lo lebih baik pikir deh, kenapa hubungan kalian selesai? Gue rasa salahnya di diri lo."

"Jangan pikir, saya takut sama kamu Anggi." Seira melepaskan cengkraman di lehernya. Dimas dan Sarah saling menggengam tangan, melihat pertarungan Seira dan Gigi. Bahkan para karyawan ikutan kesal melihat perdebatannya. Entah mengapa, tidak ada satupun dari mereka yang ingin berniat menutup pintu ruang rapat.

"Terserah, gue anggap semua udah selesai." Gigi merapikan rambutnya, lalu berbalik untuk segera keluar dari ruangan tersebut. Ia tidak mau membuang waktu yang menurutnya tidak berguna.

"Apa saya perlu ijin sama calon suamimu, Arshaka mungkin?" Tangam Gigi mengepal kuat, nafasnya terasa berat. Lalu tanpa terduga, Gigi keluar menorobos para karyawan. Semua penasaran dengan reaksi Gigi. Tak ada yang bisa menduga dengan tindakan Gigi, tau-tau sudah menarik tangan seseorang yang sejak tadi menonton keributan antara Seira dan dirinya.

"Dim, tolong tutup pintunya." Gigi menarik tangan orang tersebut, lalu di hadapkan ke arah Seira. "Silahkan ijin, tadi kamu bilang mau ijin sama calon suami saya."

"Anjir!! Jadi bener, pak Edgar? Mampus aing. Mana sering jelekin pak Ed, si Anggi juga kalem aja."

"Diem Dimas."

"Gue kaget, Sarah."

"Pending dulu, kagetnya."

"Mana bisa bego."

ANGGI MAHARANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang