TIGA PULUH

839 97 2
                                    

"Gue emang bodoh." Jumi lagi dan lagi mengoceh, tangannya mengusap air mata. Gigi dan Edgar sama sekali tidak menanggapi ocehan sahabatnya. Keduanya terlalu menikmati makanan di meja. Dengan keadaan perut lapar, paling enak memang makan di temani oleh kekasih.

"Banget." Balas Gigi. Namun begitu, mulut Gigi benar-benar di manjakan dengan makanan yang kini terhidang. Edgar sangat mengerti keinginan Gigi. Ah, rasanya Gigi seperti menemukan pria idaman yang akan menuju kebahagiaan. Tidak sia-sia Gigi menunggu cinta sejati.

"Sakit banget hati gue." Jumi mengadah ke langit, lalu mendengus kesal. Sesekali mengunyah makanana, di barengi ocehan karena patah hati. Jumi tidak peduli di sekitarnya, yang penting ia bisa mengeluarkan luapan rasa sakit hati.

"Kamu cobain ini, enak." Edgar menyuapi Gigi, dan tidak peduli dengan curahan Jumi.

"Masa sih?" Kata Gigi, ia menerimanya dengan senang hati. Keduanya saling melemparkan senyuman, tanpa menyadari kehadiran Jumi yang sedang merengek. Gigi juga melakukan hal yang sama. Menyuapi Edgar, dengan hati yang berbunga. Akhirnya bisa merasakan pacaran yang sefrekuensi. Jujur saja, Gigi tidak menginginkan lebih dari kekasihnya kelak, asal dia bisa bersama sampai seterusnya. Itu keinginan Gigi. Dan Tuhan sebaik itu, mempertemukan Gigi dengan Edgar. Benar-benar definisi jodoh.

"Cobain ini." Lagi, Edgar memberikan minuman yang tadi ia pesan. Gigi dengan senang hati menerima minuman tersebut.

"Kalau sampe gue ketemu si Andre lagi, gue bunuh dia." Dan Jumi masih saja tak terima kenyataan atas kejadian tadi. Edgar dan Gigi sudah menghabiskan beberapa tusuk sate, sedangkan Jumi masih lima tusuk. Mulutnya terlalu sibuk mengoceh karena sakit hati. Gigi bukan tidak peduli, hanya saja tidak tau harus bagaimana menanggapinya.

"Seger?" Tanya Edgar, tangannya membersihkan sudut bibir Gigi.

"Manis, agak ada asemnya."

"Gue benci si Andre." Jumi sampai menggebrak meja. Dan kedua manusia di hadapanhya, sama sekal tidak terganggu dengan kelakuan Jumi.

"Yang ini cobain." Kata Edgar, menyuapi sate yang ia nikmati sejak tadi.

"Beda?"

"Ini sate kambing."

"Lumayan."

"Makan sate ayam aja."

"Awasin sendoknya, aku tuangin tongseng."

"Kamu jangan banyakin sambel."

"Gue di tolak, sakit hati tau." Lagi dan lagi Jumi tidak menyerah, tangannya sesekali mengusap air mata. Nafasnya sudah tak beraturan. Bayangannya selalu bisa menghancurkan Andre. Jumi benar-benar merasakan rasa sakit hati yang mendalam. Tidak menyangka akan mendapat penolakan dari pria idamannya.

"Enak kan?"

"Ada yang beda."

"Apa?"

"Ternyata enak kalau di suapin."

"BAGUS KALIAN!!" Jerit Jumi, hingga beberapa orang menatap ke arah mejanya. Jumi menahan kekesalan pada dua sahabatnya. Gigi sejak tadi lebih mementingkan Edgar. Apa mereka tidak tau, Jumi sedang patah hati. "Gue ngoceh dari tadi, malah mesra-mesran."

"Gue denger lo ngomong, kok." Gigi menatap Jumi, lalu menyuapi sate dan di terima oleh mulut Jumi. "Tiga puluh lima menit gue dengerin ocehan lo, dan kata-katanya juga sama."

"Gue patah hati, Gi."

"Ya, tapi kagak di tempat makan juga."

"Siapa suruh ngajak makan?"

"Heh anak kudanil!!" Kali ini giliran Gigi yang menggebrak meja. "Tiga puluh menit di mobil Edgar, lo ngoceh mulu. Gue lapar lah denger orang nangis sambil nyerocos."

ANGGI MAHARANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang