DUA PULUH TIGA

816 104 3
                                    

Gigi menikmati makannya di pantry. Sarah dan Dimas sedang ada meeting di luar. Acong? Akhir-akhir ini manusia satu itu selalu aja keluar. Dan lebih hebohnya lagi, sering bersama Wita. Gigi makin curiga melihat kedekatan mereka. Mungkin nanti akan Gigi tanyakan pada Acong.

"Melamun di siang hari itu, tidak baik." Gigi menoleh, mendapatkan sosok manusia yang menyebalkan. Siapa lagi, kalau bukam atasannya. Makin lama, Edgar makin menyebalkan.

"Butuh sesuatu?"

"Kebetulan saya habis dari luar." Gigi mengangguk, lalu melihat plastik entah apa isinya. "Daripada mubazir, saya bungkus. Di makan aja Gi. Sayang."

Wajah Gigi melongo, dan Edgar sudah pergi. Mubazir katanya? Maksudnya Gigi di kasih sisa? Gigi menatap punggung Edgar, rasa ingin menggeplak kini sangat menggebu-gebu. Tarik nafas, buang nafas. Gigi baca bismillah sebelum mengambil plastik tersebut.

"Utuh, katanya mubazir." Gigi mendapatkan makanan yang sepertinya baru di beli. Lalu Gigi menoleh ke depan, barangkali Edgar balik lagi. "Es krim."

Gigi duduk di kursi mejanya, sambil kerja, mulut tidak berhenti. Gigi memilih menu utama dulu es krim, takutnya meleleh. Bibirnya tidak berhenti tersenyum menikmati es krim. Edgar tau saja Gigi sedang gelisah karena teman-temannya sibuk. Makanan memang selalu bisa menyembuhkan Gigi.

"Kalau tiap hari dapat makan geratis, gaji gue aman." Gigi terkekeh membayangkan jumlah uangnya kalau ia makan gratis setiap hari. Es krim habis, buang ke tempat sampah di bawah meja kerja. Lalu Gigi memakan nasi berlauk ayam. Edgar yang melihat dari ruangan kerja, menggeleng tersenyum. Senang rasanya melihat Gigi menikmati makanan yang Edgar belikan. Tapi Edgar tidak menyangka kalau Gigi memang secinta itu pada makanan.

"Makan terosss!!" Suara Acong baru saja datang, dan Wita sudah berjalan meninggalkan mereka. Gigi memperhatikan Wita. Wanita itu terlihat fine-fine aja. Sepertinya meeting mereka lancar.

"Iri terus." Acong mendengus, lalu duduk dengan deruan nafas lega. Akhirnya bisa juga duduk di kursi kesayangan. Gigi hanya menoleh sekilas. "Napa lo?"

"Itu makanan sebanyak itu, pasti harganya mahal."

"Di beliin Edgar." Hampir saja Acong jatoh dari kursi. Keren juga Edgar cara deketin Gigi. Padahal Acong baru semingguan jadi fatner Wita, Edgar sudah mencapai ke level makanan untuk dekati Gigi. Acong menatap Gigi takjub. Benar-benar atasannya tak terduga. Tau gitu Acong tenang kalau Edgar sudah bertindak.

"Gue ke ruangan bos." Kepala Gigi hanya mengangguk, tanpa menoleh. Acong terkekeh melihat kelakuan Gigi. Masuk ke dalam ruangan Edgar, mata Acong tak lepas melihat gerak-gerik atasannya.

"Kenapa kamu?" Acong memilih duduk di kursi. "Mau di beliin makanan juga, kayak Gigi?"

"Sepertinya sudah ambil start duluan."

"Dan sepertinya ada yang penasaran." Acong tertawa melihat kesombongan Edgar. "Kali ini, saya tidak akan melepaskannya."

"Oke." Kepala Acong mengangguk dengan gaya menyebalkan. Untung saja di depannya bukan Gigi. Bisa habis Acong di geplak Gigi. "Berarti tidak perlu jasa saya?"

"Oh kalau soal itu, bisa di bicarakan baik-baik." Keduanya tertawa, lalu melihat ke arah Gigi sedang makan dan fokus ke layar laptop.

"Gila. Keren juga cara deketinnya."

"Dulu, saya bahkan bisa di katakan hanya beberapa kali melihat Gigi di kantin. Saya pikir dia memang kurang suka makan."

"Ternyata?"

"Saya belum begitu mengenalinya." Acong mengangguk paham. "Saya terlaku fokus sama apa yang saya mau lakukan. Dan melewatkan apa kesukaan Gigi, makanan yang dia mau, makan apa saja. Bahkan saya lebih tau makanan kesukaan Jumi."

ANGGI MAHARANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang