DELAPAN BELAS

771 100 15
                                    

Kejadian kemarin sungguh membuat Gigi merasa malu. Gayanya yang so berani, namun ketakutan. Bahkan para karyawan membicarakan keberaniannya. Sejauh ini, hanya Gigi yang bisa membungkam mulut Wita yang katanya punya mulut tajam.

"Ya Allah, dosa saya banyak." Begitu terus keluhan Gigi sejak datang ke kantor. Kepala terus tergeletak di meja kerja. Ketiga temannya hanya bisa menghibur dengan ejekan. Sarah, bahkan sudah membujuk Gigi, agar tidak terlalu di pikirkan. Dimas hanya bisa menghela nafas, mau gimanapun juga tidak bisa melakukan apapun.

"Sabar Gi, memang kalau banyak uang harus ikhlas." Kata Dimas sembari mengangguk kepala ikut prihatin dengan kejadian kemarin. Sarah menahan tawa, melihat Gigi bak mayat hidup.

"Sarah gue malu."

"Ya udah sih, lo hebat pokonya." Katanya Sarah dengan yakin. "Yang penting uang lima belas juta udah masuk HRD."

"Sarah di ingetin lagi, ya Allah." Ketiganya tertawa melihat wajah Gigi. Semalam, Gigi spam grup kantor karena menyesal, mau-mau saja bayar cash. Padahal, Edgar mau memberikan solusi. Tapi, Gigi males ribut dan tidak mau ribet.

"Uang gue lima belas juta, ya Allah." Gigi merengek, dan mengabaikan ajakan teman-temannya menuju kantin. Dari pagi sampai siang, Gigi terus saja menyesali perbuatan. "Padahal gue bisa beli motor baru."

"Ceroboh." Getokan di kepala memang terasa ringan, namun mengganggu Gigi yang sedang kesal, sama saja mencari keributan. Gigi berbalik badan, matanya sudah melotot. Sepertinya Edgar sedang mencari permusuhan.

"Ceroboh? Lima belas juta Edgar."

"Makanya, jangan asal ambil keputusan."

"Ya, bayangin coba? Di permalukan sama si mbak tua tuh. Malu tau."

"Tapi harus berpikir jernih lagi."

"Kalau gak bisa kasih solusi, pergi sana."

"Emang mau pergi." Gigi mendongkak, wajahnya sudah menahan amarah. Semua emang tidak bisa membantu Gigi. Ya, Gigi akui dirinya memang ceroboh. Seharusnya tenangkan diri dulu, baru ambil keputusan. Apalah daya, sudah kejadian. "Makan siang dulu, nangisnya di pending."

"Gue gak suka liat makanan. Mau ngilang aja."

"Makan." Gigi menunduk, menghela nafas beberapa kali. "Saya meeting dulu, nanti pulang bareng saya."

"Males pulang."

"Kalau gitu, ke Hotel."

"Astaghfirullah Edgar." Gigi berdiri, tangannya mengelus dada. Kepala menggeleng tak percaya. Sedangkan Edgar menatap Gigi keheranan. Tidak menyadari dengan ucapannya, yang membuat Gigi berpikiran buruk. "Insyaf lo, ngajak ke hotel."

"Pikiran kamu ini, ngeres." Edgar menoyor kening Gigi, lalu meletakan makanan yang tadi Edgar beli. "Makan. Saya pergi."

"Heeh, sana pergi aja." Gigi kembali duduk, tangannya menggibas-gibas agar Edgar cepat pergi. Lalu menoleh, mendengar suara kekehan. Acong. Mentang-mentang asisten Edgar, di manapun ada, sudah mirip jelangkung.

"Jangan mewek mulu." Setelah perginya Edgar dan Acong, datanglah dua sejoli yang terus mengejek Gigi. "Lima belas juta doang bagi seorang Anggi Maharani, kecil."

"Kecil?" Gigi menarik kerah baju Dimas, rasanya kesal sekali. Sarah yang semula menahan tawa karena ucapan Dimas, mendadak tegang. "Gue nyari duit itu pake mikir Dimas."

"Iyah, oke, maaf."

"Gara-gara si mbak tuwir tuh." Sarah tertawa, melihat Gigi tengah menatap Wita. "Mana bajunya tipis, gue mau makenya juga membingungkan."

ANGGI MAHARANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang