Gigi masih setia menunggu anak dari laki-laki yang menjadi tujuan masa depannya. Untuk melancarkan niat baik hatinya, Gigi rela di suruh jemput Shena. Biarlah menjadi babysitter dadakan. Asalkan bapaknya menjadi imam di masa depannya.
"Gi."
"Bang Shaka?"
"Shena belum keluar?" Kepala Gigi menggeleng, dalam hatinya sudah jedag-jedug tidak kuat menahan rasa bahagianya. "Kalau gitu saya tinggal."
"Lho, abang nggak ikut jemput?" Terlihat Shaka tengah melihat jam di tangan. Gigi yang mengerti hanya bisa mengangguk.
"Saya ada rapat, titip Shena." Hanya bisa melihat mobil yang sudah menjauh. Padahal Gigi sudah membayangkan satu mobil. Gigi duduk di samping, Shaka menyetir. Lalu Shena di belakang sendiri. Pasti sudah terlihat seperti keluarga bahagia. Harapan dan khayalan Gigi memang selalu gagal.
Akhir-akhir ini, Gigi merasa Shaka seperti tengah memberi lampu hijau. Gigi yang merasakan hal tersebut. Misalnya, Gigi di antarkan pulang. Entah apa maksudnya, Gigi belum tau. Apa karena Shaka sudah terpeseona? Kepala Gigi menggeleng kuat.
"Masa secepat ini?" Gumamnya dengan penasaran. Teman-temannya sudah kelewatan bahagia melihat proses pendekatan Gigi. Pernah minggu yang lalu Gigi di belikan makan siang. Bukan main hebohnya, dan satu Divisi pemasaran sudah asik dengan tebak-menebak. Gigi tidak mau terlalu berharap. Harus ingat perkataan Sarah.
"Gi." Suara Shaka membuyarkan lamunan Gigi yang sejak tadi duduk di pantry. Gigi melirik kiri-kanan, lalu tersenyum ramah. "Tolong nanti Shena antar ke rumah mama saya. Saya kirim alamatnya."
"Shena?" Pasalnya hari ini Gigi tidak menjemput Shena. Lantas di mana bocah imut itu? Shaka terkekeh, meletakan sendok yang tadi ia pakai.
"Di rumah Raihan." Kepala Gigi mengangguk dengan senyuman. Hanya beberapa detik saling menatap, jantung Gigi tidak karuan. Apa ini yang di sebut cinta tulus? Sepertinya iya. "Gi?"
"Eh iyah, pak." Kepala Shaka menggeleng dengan semyuman. Gigi kira Shaka dingin, taunya biasa aja. Malah Shaka ramah. Ya, untuk kesan pertama ketika melihatnya, memang terlihat dingin.
"Baik-baik saja?" Oh Tuhan, jantung Gigi berdetak lumayan cepat. Tangan Gigi sudah gemeteran rasanya. Menahan senyuman saja Gigi tidak kuat. Lalu Gigi mengangguk dengan seyuman yang amat manis. Ketika Shaka sudah menghilang, ketiga sahabatnya heboh.
"Pencapain yang bagus, Gi." Acong memberikan tangan yang mengepal, menandakan lebih semangat lagi.
"Dua bulan bukan waktu yang lama, Gi." Kata Dimas yang menyuruput kopi. "Lo keren. Deketi anaknya mulu hayo di pepet, di suruh jemput, di suruh jagain anaknya, dan sekarang bapaknya kepincut."
"Pepatah bilang; dekati anak, pasti bapaknya dekat juga." Suara Sarah dengan senyuman yang bahagia. Sarah senag melihat Gigi sudah dekat dengan Shaka. Namun, ada rasa yang tidak suka dari Sarah. Ia rasa ini bukan seperti hasil perjuangan Gigi, melainkan seperti balas budi. Sarah tidak mau mematahkan semangat Gigi. Jangan sampe Gigi patah hati karena pemikiran Sarah.
"Gue harap lo jangan gegabah, Gi."
"Iya Sarah, ya Allah. Lo tenang aja."
"Di antar siapa?" Suara Jumi dari arah samping. Keduanya tengah berdiri di depan gerbang rumah Gigi. Jumi melihat jam di tangan, ia memang lagi ada janji dengan teman kuliahnya. "Awas aja gue liat mata lo bengkak."
"Gue yakin Jum, bang Shaka itu ada rasa. Mana mungkin dia rela pesenin makana siang. Di mana ada atasan yang perhatian sama karyawan? Cuma gue doang yang dapetin."
"Tetap aja gue nggak suka kedekatan lo, ama Shaka itu."
"Ish Jumi." Gigi merapikan poni pendeknya. Rambut yang sebahu memperlihatkan wajah cantiknya. "Doain kenapa sih!?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGI MAHARANI
HumorAnggi Maharani yang di kenal ceria dengan gaya cablaknya, siapa sangka harus merasakan patah hati sebelum berjuang. Menyukai atasan, adalah perjuangan yang menarik. Namun, di tengah bahagianya kala hati merasa menang, Anggi mendapatkan kenyataan yan...