EMPAT

1.2K 154 6
                                    

"HAHAHAHAHAHAHHAHAHAHA"

"Diem Jumi." Nyesel banget cerita sama mahluk setengah laki. Dari tadi ngakak kayak orang gila. Jumi, nggak tau apa gimana nasib Gigi tadi kalau kagak mampir ke rumah abangnya. Gigi pan bukan anak ceo-ceo gitu manteman. Tapi anaknya bapak Rizal RT setempat. Jadi ya, musti harus pake banget usaha sendiri.

"Sumpah ya, Gi." Saking kesalnya Gigi jitak palanya dah. Bisa-bisanya teman sendiri di nistakan. "Lo emang hoki banget di pecat."

"Jum, plis."

"Oke, maaf." Nah gitu kek dari tadi. Nggak bisa nafas denger Jumi ketawa mulu. "Terus bos lo tuh ye, gimane?"

"Gimane apanya?"

"Ya, jadi mecat lo, mungkin?" Baskom mana baskom, mau di getokin di kepala si Juminten.

"Tabok juga ya."

"Kan, gue nanya, Gi."

"Ya kagak ke intinya juga kali."

"Yaudah jawab."

"Kali ini gue selamat sentosa, Jum." Masih ingat di bayangan Gigi pas tadi nengok belakang, ada pak Shaka. Gigi yang nggak siap, jadinya jungkir balik dari kursi. Ah kagak lucu pokonya. Tapi mereka pada ketawa, artinya lucu dong.

"Karena bang Rai ?"

"Bukan lah." Apaan bang Rai, boro-boro. Yang ada tadi diem aja pas Gigi lagi ngobrol sama pak Shaka. "Bos langsung dong."

"SERIUS !?" Juminten, andai bukan temennya, udah di anyepin deh di sungai belakang rumah.

"Iya Juminten."

"Ah nggak seru." Kan minta di tabok. "Sakit Anggi."

"Teman lo kesusahan Juminten."

"Tapi, nggak jadi susah. Lo masih kerja, kan ?"

"Iyah juga sih."

"Yaudah."

Ini sepertinya yang bego si Juminten deh. Terserahlah. Yang penting Gigi tidak jadi pengangguran. Lalu Gigi melirik ke samping, meliat Jumi asik main hape sama ngemil. Jujur, meskipun Gigi dari kalangan sederhana, Gigi punya banyak cerita. Sedangkan Jumi? Dia adalah sahabat Gigi yang hebat. Selalu bisa menyembunyikan perasaannya. Gigi tau dia tuh kesepian. Di rumah, bapaknya kerja. Emaknya nggak ada. Makanya sering nyangkut di belakang rumahnya. Ya, untung Gigi yang baik hati ini mau nemenin. Jumi lebih banyak punya cerita. Cerita tentang luka. Gigi? Cerita bahagia. Wajar dong perempuan punya cerita.

"Ngapain make helm, Gi ?" Gigi mengabaikan ucapan Acong dan buang muka dari 3 manusia yang tidak ada akhlak itu. Masih pada punya muka ya, mereka depan Anggi. Bisa-bisanya mereka nanya. Kagak pada ingat kali kemaren tuh, nggak nolongin satupun.

"Pasti lupa tuh anak. Cong, kasih tau. Malu kali." Dimas, tunggu saja ya, pembasalannya. Lagipula, Gigi ini yang malu. Ngapa mereka yang pada heboh. Langsung Gigi ngacir lari meninggalkan mereka bertiga yang sedang asik ngobrol di garasi.

"Gigi?"

"Eh ab -- pak Shaka?" Gigi mengangguk sopan. Pencintraan dulu manteman. Melihat bos yang notabene teman abangnya, rasanya canggung. Gigi takut salah ucap.

"Kamu pake helm ke kanto?"

"Nggak bole ?" Liat pak Shaka nahan tawa. Jaim banget mau ketawa doang, elah pake di tahan. Padahal Gigi tidaka akan merah kalau memang Shaka mau ketawa.

"Ya, silahkan aja kalau tidak mengganggu."

"Nggak kok." Datanglah mahluk yang tidak nolongin Gigi. Malah pada diem kayak patung. "Nggak papa kan, Gigi pake helm?."

ANGGI MAHARANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang