DUA PULUH DELAPAN

816 93 4
                                    

"Jadi?"

"Dua minggu sebelum kelulusan, saya meninggalkan kalian."

"Kamu pasti punya alasannya."

"Hemmm."

"Jadi ini tindakan kamu, mendekati aku?"

"Kuno ya?" Gigi terkekeh, kepalanya menunduk menahan rasa haru. "Saya sampai harus ambil Wisnu dari geng kalian."

"Bang Wisnu tau?" Edgar mengangguk. "Bisa juga dia jaga rahasia."

"Mungkin karena saya atasannya." Gigi memutar bola matanya. Di saat seperti ini, dia menjadi sombong. "Kamu sudah tau perasaan saya."

"Hmmm." Gigi menghela nafas, lalu menatap Edgar sebentar. "Aku kira, nggak bakal ada lagi yang suka sama aku. Percintaan aku terlalu buruk, sampai aku lupa cara untuk menyukai laki-laki."

Edgar menggengam tangan Gigi, meyakinkan semuanya tidak buruk.

"Tapi mengingat tindakan kamu, cara kamu, aku mungkin harus mempertimbangkan perasaan aku."

"Ayok, kita jalani." Ujar Edgar dengan wajah serius. Gigi mengangguk, lalu mendapatkan pelukan hangat dari Edgar. Hatinya merasakan hangat, bibirnya tak berhenti senyum. Keduanya melepaskan pelukan, lalu saling melempar senyuman.

"Ed."

"Heeemm?"

"Kamu kecintaan banget sama aku?"

"Mana ada. Percaya diri kamu, ketinggian."

"Ini?" Gigi memperlihatkan poto di tembok atas kepala ranjang, dan di atap kamar tersebut. Jantung Edgar terasa berhenti. Gigi membalas tatapan Edgar dengan senyuman. "Demi mandapat jawaban, aku kemaren ke rumah kamu. Dan liat ini. Terima kasih."

Tubuh Edgar kaku, jantungnya berdetak lebih cepat. Seperti mendapatkan hadiah pantastis. Tadi pagi Gigi seperti orang gila, karena ini? Gambar di layarnya yang Gigi dapatkan dari rumahnya. Pantas saja Wita dan Wisnu santai sekali. Ternyata dirinya yang tidak peka. Edgar menarik tubuh Gigi, menciun kepala Gigi dengan lembut. Bahkan mengusap punggung Gigi dengan pelan.

"Saya senang."

"Karena?"

"Kamu menyukai apa yang saya lakukan." Gigi tertawa kecil, keduanya saling menatap. "Kamu bisa kapan saja masuk ke sana."

"Oke." Gigi berdiri, merapikan kemejanya. "Aku balik kerja."

"Tidak masalah." Edgar juga berdiri, niat mau mengantarkan Gigi ke depan pintu. Namun perlakuan Gigi membuat Edgar berkali lipat bahagia. Gigi terlihat cekatan merapikan jas dan dasi Edgar. Lalu merapikan rambut Edgar juga. "Kamu selalu cantik."

"Terima kasih." Ujar Gigi, tangannya mengusap rambut Edgar. "Aku kerja, ya."

"Boleh peluk lagi?" Gigi sampai menunduk dengan tawanya. Edgar benar-benar menggemaskan. Kepala Gigi mengangguk, lalu Edgar maju menarik tubuh Gigi. "Pulang bareng saya."

"Aku bawa motor."

"Nanti saya suruh orang untuk mengantarkannya."

"Oke." Pelukan keduanya terlepas, lalu saling menatap. Memang kalau sudah jatuh cinta, mau berpisah saja susah. Edgar dan Gigi sama-sama seperti tidak ikhlas untuk berpisah. Jarak ruangan Edgar dan meja Gigi, tidak sampai memakan berjam-jam.

"Kunci mobil saya, kamu pegang."

"Kenapa?"

"Jam pulang pulang, kamu duluan masuk mobil. Saya akan menyusul."

"Setuju." Gigi melambaikan tangannya, lalu keluar dengan wajah berbinar. Wita yang melihatnya penasaran. Apakah ada sesuatu yang menakjubkan, hingga bibir Gigi tidak bisa rapat. Ketiga temannya menatap Gigi dengan keheranan. Pasalnya, Gigi berjalan seperti orang tidak waras. Senyum, mengusap jam tangan, lalu terkekeh. Ini menyeramkan.

ANGGI MAHARANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang