DUA PULUH DUA

807 97 4
                                    

Malam-malam Gigi berjalan sendirian, pakai jaket, rambut cepol. Tangan memegang ponsel, satunya memegang es krim. Berjalan dari supermarket kebiasan di malam hari. Gigi melihat dari jarak jauh, ada Edgar. Jangan lupakan sosok Jumi. Mereka berdua sepertinya serius dengan pembicarannya. Gigi berjalan ngumpet di balik pohon milik tetangga Jumi yang hanya beda lewat satu rumah doang kalau ke rumah Gigi.

"Malam-malam jajan, ngumpet lagi."

"Astagfirullah." Gigi menggeplak bahu orang tersebut. Selama seminggu ini, Gigi memang selalu di gangguin adik sepupunya. "Dari mana kamu?"

"Pulang sekolah."

"Mana ada pulang sekolah jam delapan." Remaja tersebut menyengir lalu mengambil jajanan Gigi dari kantong plastik. "Makan di mana?"

"Warteg." Kepala Gigi mengangguk. "Mbak, ngapain sembunyi?"

"Lah iyah?" Katanya, lalu keluar dari persembunyian. "Nggak sama om Dika?"

"Papa lembur."

"Mau nginep?"

"Kagak dah." Katanya dengan wajah tengil. "Nanti suruh bikin konten."

"Wajah kamu ini harus mbak jadikan duit."

"Bilangin bude."

"Mainnya ngancem." Gigi menarik tangan adik sepupunya tersebut. "Elang."

"Hemm." Keduanya berjalan sembari memakan es krim. "Mau nanya apa?"

"Pulang sekolah jam berapa?"

"Tergantung." Gigi menoleh, matanya sudah melotot. "Elang jadi osis, mbak taulah."

"Kabarin mbak jam pulangnya."

"Mau apa?"

"Ajakin makan malam."

"Elang pulang sekolah biasanya ke kantor papa." Katanya dengan senyuman yang membuat Gigi sedih. "Makan bareng papa."

"Mbak sama papa kamu, satu kantor."

"Tapi Elang jarang liat mbak."

"Beda pintu lah. Om Dika, Direktur. Lah mbak? kacung."

Elang tertawa, keduanya berjalan santai tanpa sadar sudah dekat dengan rumah Jumi.

"Gigi." Langkah Gigi berhenti, baru sadar kalau pulang lewat rumah Jumi. Mana si Jumi pake manggil segala. Lalu mata Gigi bertemu dengan mata Edgar, segera Gigi menarik tangan Elang. "Nemu anak dari mana?"

"Sembarangan ini mbak Jumi." Sela Elang mendengus. Elang kadang bingung, kakak sepupunya bisa berteman dengan modelan Jumi guru anak SD. Tapi, kalau Elang liat-liat, mereka tuh emang cocok. Sama-sama heboh.

"Baru pulang El?"

"Biasa, anak remaja."

"Nah lo, Gi." Gigi menatap Jumi dan Edgar. Jangan-jangan Edgar mau protes atas kedekatan Jumi dan cowoknya. Kacau, Gigi harus segera pulang. Bisa saja Edgar cemburu. Di kantor bilangnya bukan urusan dia, tapi malam begini udah ada di rumah Jumi. Bikin Gigi overthingking aja. Tapi tak apa, Gigi juga tidak mau terlibat dalam kisah mereka. Takut. Takut Gigi masuk ke lubang yang sama. "Anggi Maharani."

"Gue habis jajan, di jalan ketemu Elang."

"Di jalan?" Kata Elang keheranan. Perasaan tadi Elang ketemu Gigi di bawah pohon. Melihat mata Gigi melotot, Elang hanya mengangguk.

"Kalau gitu, tinggal ya. Mau mandi." Pamit Elang pada semuanya. Terutama pada Gigi, Elang juga tak salaman.

"Berani gak?"

"Berani, mbak. Tenang aja." Elang sudah pergi meninggalkan orang dewasa yang tengah berdiri di jalan.

"Siapa?" Gigi menoleh ke arah Edgar, matanya berkedip beberapa kali. Wajah Edgar terlihat tidak damai, seperti menahan amarah. Gigi yakin, Edgar dan Jumi habis berantem. "Gi."

ANGGI MAHARANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang