TIGA PULUH ENAM

777 107 16
                                    

Gigi melihat Dimas dan Sarah baru saja keluar mobil. Ia menghampiri temannya, seperti biasa menggeplak bahu Dimas. Lalu berjalan bersama, masuk ke dalam kantor. Jangan tanyakan Wisnu, pria satu itu, pasti sudah di dalam ruangan Edgar

"Sakit bangke!!" Dimas menjitak kepala Gigi, membalas perbuatan yang sering terjadi pada Dimas. "Tangan lo, kapan insyaf?"

"Belum ada rencana insyaf."

"Si paling anjir."

"Si paling tersakiti."

Sarah penengah keributan Dimas dan Gigi, hanya mampu menggelengkan kepala. Selalu saja seperti ini, dan berakhir keduanya telat masuk kantor. Lama-lama Sarah bisa setres di usia muda, kalau terus di hadapkan dengan tingkah dua manusia yang masih rebutan jalan duluan.

"Gi," gumam Sarah, namun sang empu tidak mendengarnya. Gigi sibuk dengan Dimas, rebutan siapa yang duluan masuk kantor.

"Astagfirullah Anggi!!" Jerit Dimas, dadanya terbentur kepala Gigi yang berada di depannya. Maklum, Dimas ketinggian kayak model. Apalah Gigi tingginya, hanya sedada Dimas.

"Sarah berhenti duluan Dimas." Gigi menoyor kepala Dimas, lalu menepuk bahu Sarah. "Sar, nape?"

"Itu."

Ketiganya menegang, kala salah satu wartawan melihat ke arah mereka. Entah siapa yang memberitaukan jam Gigi berangkat ke kantor. Mana wartawannya banyak, Dimas sampai pusing liat mereka histeris kala melihat Gigi.

"Gi, pegang tangan gue. Sar, lo susul belakang. Gue bawa kabur Anggi."

"Gue yang mengalihkan mereka dulu, Dim."

"Nggak perlu." Ujar Gigi, sorot matanya kini menatap para wartawan yang berlarian menghampiri Gigi. "Gue harus hadapi ini."

"Tapi Gi, mereka banyak banget. Kayak mau keroyokan." Kata Dimas, segera menghalangi para wartawan yang sudah mengkrubungi mereka.

"MBAK ANGGI, WAWANCARANYA DONG!"

"Mbak, mau wawancara."

"Mbak, tanggapan terkait berita yang beredar."

"Mbak Anggi, benar nggak sih, mbak jadi selingkuhan mas Shaka?"

"NANYA YANG SOPAN WOY!!" Teriak Dimas, tangannya menghalangi para wartawan yang menyorobot ingin medekati Gigi.

"Kita wawancara di situ aja, bisa?" Kata Gigi dengan senyumannya. "Nggak enak ini, depan kantor."

"Teman-teman, kasih ruang mbak Anggi dulu. Benar, ini depan kantor. Takut pada terganggu." Kata salah satu wartawan, lalu mereka memberi jalan, hingga Gigi duluan melewati para wartawan.

Kini lumayan nyaman, Gigi memilih di samping gedung perusahaan. Paling tidak, jalan ini jarang di lewati olah karyawan.

"Boleh munduran?" Kata Gigi, wajahnya memancarkan aura bahagia. "Oke, silahkan tanya. Tapi jangan rebutan, ya? InsyaAllah saya jawab."

"Beda kalau jiwa artis, mah. Lembut banget. Giliran ngomong ama gue, make tenaga dalem." Bisik Dimas di telinga Sarah. Kedua sahabat Gigi, memilih untuk menemani Gigi. Untung saja tidak ada Wisnu, pasti manusia itu paling langsung ngamuk melihat para wartawan yang sedang mengkrubungi Gigi.

"Diem, kita dengerin wartawan." Ujar Sarah kesal. Dimas, mengangguk patuh.

"Mbak Anggi, mengenai berita yang sedang heboh itu, gimana menurut mbak?"

"Katanya mbak Anggi perusak hubungam mereka? Tolong jawab, mbak."

"Apa benar mbak, hubungan mas Shaka dengan mbak Seira kandas, karena kehadiran mbak Anggi pihak ketiga."

ANGGI MAHARANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang