TIGA PULUH TIGA

739 101 9
                                    

Gigi tidak melepaskan tangannya dari kepala Edgar. Sudah sejam lebih keduanya masih di posisi sama. Kali ini, Gigi dengan menawarkan diri untuk menemani Edgar di rumah. Edgar merebahkan tubuhnya di sofa, lalu kepalanya di panggkuan Gigi. Kejujuran yang Edgar ceritakan pada Gigi, belum juga hilang dari bayang-bayang masa lalu. Edgar masih merutuki kebodohannya, karena begitu mudahnya terbawa dampak yang buruk.

"Ed."

"Hmm."

"Kaki aku keram btw." Sebenarnya bukan keram, tapi pegal. Mau ngomong pegal, takut-takut Edgar tersingung. Keduanya bahkan belum pada ganti baju.

"Oh, maaf." Edgar duduk, merapikan bajunya yang tersingkap. Masih dengan suasana canggung, pun dengan Gigi. Tangan Gigi memijit paha dan betisnya, karena terlalu lama memangku kepala Edgar. "Sakit?"

"Cuma pegel doang." Lalu Edgar beranjak meninggalkan Gigi yang masih sibuk dengan pijitannya. Tak lama, Edgar keluar dengan pakaian yang sudah ganti. Gigi sama sekali tidak terganggu dengan kehadiran Edgar duduk di sofa.

"Mbak Yuli nggak masak, makan di luar aja."

"Oke." Gigi segera berdiri, lalu mengambil tas selempengnya. "Katanya mau makan di luar, kenapa masih duduk?"

"Kamu yakin, makan di luar dengan pakaian begitu?"

"Ya ilah Ed, mau pakai baju apapaun, makan mah tinggal makan."

"Maksud aku, masih pakai baju kantor."

"Nggak masalah. Ayok cepetan, keburu magrib."

Tangan Edgar dengan sengajanya menggenggam tangan Gigi, padahal hanya sekedar mau masuk mobil. Kadang Gigi juga heran dengan sikap Edgar mirip bunglong.

"Iya?" Edgar melirik sedikit, kala mendengar Gigi sedang menerima telpon. Entah dari siapa, tapi sepertinya penting.

"Ya Allah bang, jemput sendiri napa!? Anaknya lho." Edgar terkekeh geli mendegar dumelan Gigi, bibirinya misuh-misuh. Bahkan Gigi berteriak karena kesal. Dengan sabar, Edgar mengusap bahu Gigi, menenangkan amukan sang kekasih.

"IYAH GUE JEMPUT!!"

"Jumi?" Tebak Edgar dengan mengasal. Padahal Edgar tau, itu bukan Jumi. Jelas-jelas Edgar bisa mendegar suara pria, mana bisa Jumi menirukan suara pria. Kecuali Jumi operasi jadi laki-laki. Kepala Gigi menggeleng, nafasnya terdengar cukup keras.

"Bang Raihan."

"Suruh apa?"

"Jemput bocil."

"Keponakan kamu?"

"Ya begitulah." Gigi mengacak rambutnya kesal. Selalu saja ada gangguan kalau Gigi sedang jalan dengan Edgar. Tidak Jumi, tidak keponakannya, perlu Gigi singkirkan ke jurang rawa-rawa. Apa mereka tidak ingin melihat Gigi seperti wanita lainnya. Jalan dengan sang kekasih, dan menikmati dengan tenang.

"Di mana?"

"Rumah pak Shaka." Edgar hanya mengangguk. Percayalah amukan Gigi bukan karena keponakannya berada di rumah bosnya, melainkan Gigi terganggu waktu pacarannya. Oh Tuhan, begini amat nasib Gigi. Paling benar memang Gigi harus beralasan sibuk.

"Jangan marah-marah."

"Bang Raihan tuh, kayaknya tau deh, kalau aku lagi pacaran."

"Apa hubungannya?"

"Buktinya suruh jemput anaknya. Dia kayaknya nggak mau liat adiknya senang dikit, gitu."

"Emang abang kamu tau, kalau kamu punya pacar?"

"Nggak sih."

"Terus, kenapa bisa menyimpulkan seperti itu?"

"Ya habisnya, pada gangguin mulu." Edgar tertawa kecil, tangannya mengusap kepala Gigi. "Kapan aku tuh tenang menikmati seharian bareng pacar, jalan sama pacar, kagak ada telpon pas sama pacar. Mustahil kayaknya."

ANGGI MAHARANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang