DUA PULUH TUJUH

736 105 6
                                    

Gigi menatap rumah mewah di perkomplekan elit. Apalah Gigi, hanya seorang anak perempuan yang belum ada apa-apanya. Bibirnya tersenyum, pancaran matanya menandakan ia akan menemukan jawaban di dalam rumah tersebut.

"Mbak Gigi?" Perempuan yang memanggilnya menatap Gigi. Gigi mengangguk tersenyum, menghampiri orang tersebut. "Saya Yulli."

"Oh, mbak Yulli." Gigi mengamati halaman rumah mewah tersebut lalu menatap mbak Yulli. "Saya boleh masuk?"

"Pak Edgar nggak di rumah."

"Ada yang ketinggalan di kamar tamu."

"Biar saya ambilkan." Kerutan di dahi Gigi tercetak jelas. Mbak Yulli bisa tau namanya, dari mana? Tidak mungkin Edgar mengatakannya. Apalagi ini pertama kali mereka bertemu. "Barang apa yang ketinggalan?"

"Saya aja."

"Eh, nggak usah mbak." Gigi menatap mbak Yulli langsung menunduk. Padahal, kalau Gigi perhatikan, mbak Yulli sopan. Kenapa melarangnya?

"Kamu nggak perlu takut. Saya udah ijin Edgar."

"Oh maaf mbak Gi, silahkan." Gigi tersenyum. Gigi tau, mbak Yulli bertanggung jawab atas rumah Edgar. Jadi wajar saja kalau mbak Yulli melarangnya. Gigi masuk ke dalam kamar tamu, lalu melihat kamar tersebut. Pemandangan kamar sangat beda, saat Gigi menempatinya. Di meja rias, banyak photo seorang gadis. Ada photo sedang duduk di kantin sekolah, bahkan ada photo yang sedang menatap selokan.

"Edgar nggak segila itu, kan?" Gigi mengambil salah stu photo tersebut, dan masih banyak photo lainnya. Photo gadis berseragam. Lalu Gigi menatap gambar wajahnya di atas kepala ranjang. "Dia ngapain ngoleksi poto gue?"

Ucapan ketiga temannya tadi, terbayang di kepala Gigi. Apa iyah, Edgar ada perasaan padanya? Kalau di pikir-pikir, sikap Edgar sedikit berbeda. Gigi duduk di kursi meja rias, menatap sekeliling kamar. Ia baru meyadarinya, kamar ini lebih pantas di sebut kamar pribadi.

"Dia ngode mulu, gimana gue mau ngerti." Kepala Gigi menunduk, menatap photonya. Gigi mengusap photo itu, lalu menghela nafas. Entah kapan Edgar memotretnya. Saat itu, Gigi selalu menyendiri. Setelah penolakan Edgar untuk jadi pacarnya, Gigi memilih dengan dunianya. Bahkan ia jarang mendekati Jumi lagi. Karena saat itu Gigi yakin, dalam dunia Edgar, hanya ada Jumi.

Gigi beranjak, tersenyum menatap kamar tersebut. Lalu mematikan lampunya, namun langkah Gigi berhenti. Bukan kegelapan yang menyambutnya, melainkan lampu remang-remang. Gigi menatap langit kamar, wajahnya shok. Ternyata kalau lampu mati, langit kamar menampakan gambar langit dan bintang-bintang. Selain itu, ada yang lebih membuat Gigi ingin menangis. Langit yang penuh bintang, dan gambar wajah Gigi dengan senyumannya. Gigi mengusap air matanya.

"I love Anggi Maharani, cinta pertama saya." Tulisan yang begitu jelas, siapapun bisa menyadari tulisan tersebut. Gigi memilih tiduran, menatap langit kamar. Ini di luar dugaannya, bisa melihat hal berbeda. Andai saat Gigi menginap waktu itu, lampunya di matikan. Mungkin Gigi bisa melihatnya saat itu. Sayangnya, Gigi tidak bisa tidur kalau lampu di matikan.

"Dia kenapa manis banget sih?" Gigi berusaha menahan air mata. Sayangnya memang tidak bisa di tahan. Ini benar-benar mengejutkan. "Langit kamar kayak langit beneran, ada muka gue lagi. Tapi, bagus."

Pagi ini, ada yang aneh dengan Gigi. Kalau ketiga sahabatnya, sudah hapal dengan tingkahnya. Pakaian Gigi mulai berubah lagi, dan lebih terlihat berwarna. Rambut yang biasa di cepol, atau ikat satu, sekarang hanya di urai biasa saja. Kali ini beda, Gigi dengan penampilannya yang menggambarkan sedang bahagia.

"Apa dia mendapatkan lotre mobil?" Wita dan Wisnu tertawa mendengar tebakan Edgar. Sejak Gigi masuk, Edgar terus memperhatikannya. Senyuman Gigi tidak luntur sejak tadi. Bahkan terdengar Gigi sedang bernyanyi. Duduk di kursi kerja, dengan manis.

ANGGI MAHARANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang