"Jadi, Gigi masih patah hati?"
"Kalau itu, saya kurang tau." Edgar melihat ke luar ruangan, nampak Gigi tengah fokus dengan kerjaannya. Acong yang tengah duduk di sofa, menahan nafas ketar-ketir, mulai membiasakan diri dengan sikap atasannya.
"Apa, pak Shaka tidak menyadari sikap Gigi?"
"Kalau itu belum tau pak, soalnya Gigi juga belum ungkapin perasaannya."
"Padahal Gigi mudah di tebak anaknya."
"Emm, pak Edgar kenal Gigi?" Kepala Edgar mengangguk lemah. "Kapan?"
"Dari sekokah TK." Penjelasan Gigi ternyata bukanlah sebuah karangan. Namun yang menjadi rasa penasaran Acong, Edgar kenapa seperti tidak mengenal Gigi. "Perubahan dia banyak."
"Kalau pak Edgar kenal lama, kok nggak nyapa Gigi? Kan teman lama baru ketemu"
"Saya nggak tau mulai dari mana menyapa Gigi. Dia tipe yang ingin taunya kuat. Saya belum berani jelasin."
Akhirnya Acong mengerti, dan Gigi salah paham. Baiklah Acong pemegang rahasia Edgar.
"Pak, boleh saya tanya?" Edgar menoleh, lalu mengangguk. "Bapak suka sama Gigi?"
"Bentar deh, Nu." Acong menahan nafasnya, apa salah tanya. "Kamu itu satu komplek sama rumah ibu saya, beda blok doang. Saya tau kamu, tapi memang tidak kenal. Kenapa harus manggil pak?"
"Kan pak Ed, atasan saya."
"Tapi saya tidak setua itu. Kita seumuaran. Edgar aja panggilnya."
"Jangan gitu pak--
"Anggap saya teman kamu, pun sebaliknya. Kamu teman saya."
"Hah?"
"Lupakan." Edgar menatap Acong. "Tadi tanya soal suka?"
"Iyah, pak."
"Saya juga tidak paham, Nu. Di mata saya, Gigi beda. Dia menarik dari segala hal. Dulu, dia pendiam. Tidak pernah ikut-ikutan tren, atau gaya perempuan lainnya. Dia konsisten dengan gaya rambut di gerai, dan berponi. Memiliki hati yang baik dan perhatian. Anaknya peka, dan selalu mengerti. Ya, saya memang menyukainya. Dari dulu, pertama ketemu Gigi."
"Pertema ketemu?" Kepala Edgar mengangguk. "Kata Gigi temanan dari TK, artinya pas sekokah TK?"
"Gigi cerita?" Mampus, Acong salah ngomong lagi. Haduh, gimana ini hidup Acong. "Nu?"
"Pertama kalian ketemu di kantin, Gigi sedih. Karena, ya itu pak Ed-- maksud saya, lo nggak nyapa dia."
"Dia peka kan, Nu?" Kepala Acong mengangguk. "Waktu itu saya seharusnya samperin Gigi, sekedar menyapa. Tapi, saya nggak berani. Gigi malah ke rumah ketemu bunda saya, dan bodohnya saya malah ke rumah Jumi, memastikan Gigi takut kemalaman di jalan."
Acong mangap-mangap, mendadak sesak nafas. Romantis ternyata. Kalau Gigi tau, besar kepala anaknya, pasti pamer.
"Kalau gitu, kejar lah."
"Makanya saya jadiin kamu asisten."
"Mantap gue di jadikan mak comlang." Edgar terkekeh, lalu menyerahkan satu map, ke arah Acong.
"Jadi kenapa di panggil Acong?"
"Mending lo tanya aja sama gebetan lo tuh si Anggi maharani."
"Gigi yang ganti?" Kepala Acong mengangguk, sembari baca berkas dari Edgar. "Pending dulu soal Gigi. Nu, tolong cari tau orang itu."
"Saingan bisnis?"
"Bukan." Dahi Acong mengerut, lalu kembali membaca. "Mantan Gigi."
Hampir saja kertas yang Acong pegang jatuh. Seniat ini Edgar mencari tau. Bucin banget. Andai Gigi tau, pasti itu anak kesenangan bukan main. Dimas bisa tumpengan, dan Sarah bisa party. Baiklah, Acong paling beruntung di jadikan asisten.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGI MAHARANI
HumorAnggi Maharani yang di kenal ceria dengan gaya cablaknya, siapa sangka harus merasakan patah hati sebelum berjuang. Menyukai atasan, adalah perjuangan yang menarik. Namun, di tengah bahagianya kala hati merasa menang, Anggi mendapatkan kenyataan yan...