DUA PULUH EMPAT

721 104 5
                                    

Yang Edgar lakukan selama di kantor menatap meja Gigi. Obrolan kemarin saat di rumah bundanya, masih terngiang di telinganya. Bahkan seharian ini, ia tidak memanggil Acong. Benar-benar tidak beranjak dari dalam ruangan. Sesaat Edgar mengingat seseorang, ia langsung keluar. Bahkan Edgar mengabaikan para karyawan tengah menyapanya. Pun dengan ketiga teman Gigi.

Gigi menatap Acong, seolah bertanya soal Edgar. Acong hanya mengedikan bahu, merasa memang tidak tau. Lalu semua kembali bekerja, tidak terusik dengan perginya Edgar.

"Kenapa Gigi nggak di ajak sekalian?"

"Dia kerja."

"Lah? Lo pan bosnya?"

"Jum, saya menemui kamu bukan mau bahas soal kerjaan." Edgar menarik kursinya agar bisa lebih dekat dengan meja. "Ini soal Gigi."

"Napa lagi tuh bocah?" Jumi asik mengunyah makanan. Ya, siapa suruh main perintah Jumi. Udah tau Jumi lagi berpetualang Cinta, main di ganggu aja. "Tinggal tanya aja, Ed."

"Waktu kita sekolah, Gigi di mana?" Jumi menatap Edgar tak percaya. Rasanya umur Edgar belum tua-tua amat. Kenapa pikun dia terlalu parah. Jumi semakin yakin, Edgar memang orang yang cepat melupakan.

"Ed, Gigi selalu sama kita."

"Ceritain."

"Apanya?"

"Soal saya, kamu dan Gigi." Makin nambah waktu kalau Jumi ceitain. Apa intinya saja? Yang ada Jumi di teror Edgar. "Jumi."

"Ya pokonya, di mana ada gue, ada lo. Nah di situ ada Gigi. Gigi selalu bareng kita. Di mana pun, dan ke mana pun. Gue main ke rumah lo, Gigi juga ikut."

"Lanjut."

"Lo inget kaca kelas dua belas pecah?" Edgar mengangguk, ingat sekali. Itu ulah Edgar yang tidak bisa diam. Saat itu Edgar sedang main bola, lalu tendangannya terlalu kuat, hingga kaca pecah. "Lo tau saat itu banyak darah, nah lo lari tuh ke arah gue. Sampe lo gendong gue bawa ke uks. Lutut gue luka, lo marah kayak kesurupan. Padahal gue jatoh."

"Gigi?"

"Iyah. Itu darah Gigi, kena kaca pecah ulah lo. Di bagian lengan sebelah kiri, ada bekas baret kaca."

"Lanjut." Edgar memejamkan matanya, berusaha mengingat kejadian tersebut. Saat di uks memang ada satu siswi, yang Edgar tidak sadar. Siswi tersebut di obati, sampai berteriak. Edgar terlalu fokus mengobati luka Jumi. Jadi siswi yang berteriak kesakitan, Gigi.

"Di kantin, kita bertiga makan soto." Edgar kembali mengingatnya, namun ia seperti hanya tau Jumi. "Ada yang keselek, lo malah kasih minum ke gue. Padahal yang keselek Gigi, yaudah minumnya gue kasih Gigi."

Andai Edgar tidak terlalu diam di dunia Jumi, mungkin saja ia bisa melihat Gigi. Jadi selama ini, Edgar terlalu sibuk dengan dunianya dan hanya menarik Jumi.

"Ed, maaf." Edgar menoleh, menatap Jumi tidak paham. "Gue tau, ini salah gue. Gue yang minta lo buat liat gue doang. Saat itu gue kekanakan, gue cuma merasa punya lo dan papa, yang lindungi gue. Maaf, Ed."

Edgar hanya mengangguk, berusaha menenangkan dirinya.

"Gue cerita sedikit aja, takut bikin lo merasa bersalah. Tapi kalau soal Gigi nembak lo, gue bener-bener nggak tau."

"Makasih Jumi." Edgar berdiri, merapikan jas kantornya. "Kamu bisa pulang sendiri?"

"Bisa, kan gue udah ge---

Edgar sudah pergi meninggalkan Jumi tengah bengong. Itu benar Edgar sahabatnya, atau pria yang sedang mencari info soal gebetannya? Ah kepala Jumi pusing.

Beberapa kali Edgar menelpon Gigi, hasilnya nihil. Entah di mana manusia ajaib itu, hingga telpon Edgar tidak di angkat. Tidak mungkin ada di kantor, karena ini sudah malam.

ANGGI MAHARANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang