Gigi menatap sekeliling isi rumah. Ini beda dengan rumah yang pernah Gigi kunjungi. Rumah siapa? Apa rumah suadara Edgar? Rasanya tidak mungkin. Ini lebih bisa di sebut seperti apartemen. Masuk ke dalam harus pakai password.
"Gigi."
"Ah, ya?" Gigi berjalan menghampiri Edgar, wajahnya sudah segar dan pakaian sudah berganti. "Kenapa?"
"Mandi sana."
"Nanti aja, aku nggak lama kok." Gigi mencoba untuk meyakinkan Edgar, ia benar-benar akan mandi kalau sampe rumah. Edgar menatap jam dingding, lalu menatap Gigi.
"Tengah dua belas malam. Nggak usah pulang."
"Maksudnya nggak usah pulang?"
"Nginep."
"Edgar istighfar." Tegur Gigi dengan wajah kagetnya. Edgar justru menahan tawa, selau menyenangkan kalau melihat Gigi seperti sekarang.
"Saya di kamar utama, kamu kamar tamu."
"Edgar."
"Sebelah kamu, ada kamar mbak. Namanya mbak Yulli, kamu nggak perlu mikir panjang."
"Tapi aku--baju--
"Di kamar tamu, ada baju Ivy, pake aja."
"Ivy pernah ke sini?"
"Kalau lagi banyak tugas, Ivy sama Baim ke sini."
"Oh, oke." Gigi mengangguk paham. Lalu berjalan ke arah kamar tamu, pamit pada Edgar. Sedangkan Edgar tersenyum melihat Gigi masuk ke dalam kamar tersebut. Gigi semudah itu percaya. Di lantai atas terdapat kamar dua, itu sudah di hak milik Ivy dan Baim, adik kembar Edgar. Mereka memang pernah ke sini, tapi tidak sering. Lebih tepatnya langka. Adik Edgar lebih menyukai di rumah bersama bunda, daripada di rumah Edgar yang sunyi.
"Selamat malam, Gigi." Edgar masuk ke dalam kamarnya, merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk. Mengingat bayangan tadi di choffee shop benar-benar menghantui Edgar. Senyuman di bibirnya sama sakali tidak lepas. Entah mengapa Edgar menyukai balasan pelukan Gigi. Apapun bentuk pelukannya, Edgar senang.
"Baju Ivy?" Gigi melihat baju tersebut sedikit beda. Dulu, Gigi ingat jelas. Ivy menyukai baju tidur yang bergambar doraemon. Sejak kapan Ivy suka baju tidur polos gini? Ini lebih mirip baju tidur yang sering Gigi kenakan di rumah. Ah soal baju, nanti saja. Lebih baik Gigi mandi.
Edgar mencoba memejamkan matanya, namun benar-benar susah. Bayangan Gigi tersenyum, belum lagi ketawa Gigi, menghantui pikiran Edgar.
"Anggi Maharani." Edgar menatap poto Gigi yang berada di layar ponselnya. Poto tersebut, Edgar yang memotretnta. Ada Gigi sedang garuk kepala, ada juga Gigi lagi minum, poto Gigi lagi makan, dan lebih parahnya ada poto Gigi lagi jatuh dari kursi kerja. Edgar lagi-lagi tertawa setiap melihat poto hasil sendiri.
"Kamar tamu." Edgar seperti menyadari ada sesuatu di kamar tamu. Di kamar tamu ada Gigi, kalau sampe lihat, bisa gawat. Edgar lari secepat kilat, lalu mengetuk pintu tidak sabaran.
"SABAR!!" Edgar tidak peduli dengan teriakan Gigi. Pintu terbuka, Edgar menorobos masuk. Melihat meja tempat make up, aman. Akhirnya bisa bernafas lega.
"Edgar."
"Yah?" Edgar menatap Gigi, pakaian baju tidur begitu pas di badan Gigi. Tidak sia-sia Edgar membeli baju tersebut. Niatnya untuk di berikan pada Gigi, tapi sudah di pakai duluan. Sepertinya baju tersebut tau harus melabuh di tubuh siapa.
"Maksud gambar di dinding ini, apa?" Edgar menatap kepala ranjang, di atasnya ada gambar Gigi yang amat besar. Keduanya saling tatap, lalu kembali melihat gambar tersebut. Gigi ingat, itu gambar Gigi sedang mengegebrak meja kerjanya, lalu tersenyum manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGI MAHARANI
HumorAnggi Maharani yang di kenal ceria dengan gaya cablaknya, siapa sangka harus merasakan patah hati sebelum berjuang. Menyukai atasan, adalah perjuangan yang menarik. Namun, di tengah bahagianya kala hati merasa menang, Anggi mendapatkan kenyataan yan...