DUA PULUH

831 107 2
                                    

Gigi menatap gedung perusahaan tempatnya bekerja, lalu menghela nafas. Setelah kejadian kamarin, Gigi berniat ambil cuti. Hanya saja kalau Gigi di rumah tidak ada kegiatan, yang ada malah liat kesedihan ibunya. Gigi ingin sekali berteriak depan wajah adik ayahnya. Namun mengingat Gigi tidak ada hak, ia urungkan niatnya. Soal Jevan dan Aisyah, Gigi tidak permasalahin sama sekali. Toh Gigi juga sudah mengakhiri hubungannya dengan Jevan. Ya, meskipun mengakhiri dengan kekterpaksaan. Tapi, setidaknya sudah melupakan hal tersabut.

Lagi, nafas Gigi terdengar cukup keras. Gigi menunduk, membiarkan rambutnya bergelantungan. Tak ada lagi rambut cepol dengan poni yang menarik. Rambut di gerai dengan poni masih sama, dan pakaian lebih tertutup. Celana jeans di padu manset, dan blazer jas. Gigi berjalan dengan kepala mendunduk, mengabaikan orang-orang berlalu lalang. Kali ini Gigi ingin mengalah saja dari keadaan. Dengan lesu, Gigi hanya memperhatikan lantai dengan menunduk. Wajahnya benar-benar tertutup semua oleh rambutnya.

"Kenapa lagi itu bocah?" Sarah melipat tangan di dada, memperhatikan kelakuan Gigi. Jangan lupakan Dimas dan Acong di samping Sarah.

"Mulai kambuh kelakuan anehnya." Gumam Dimas. Sedangkan Acong diam membisu, tidak tau harus mengatakan apalagi. Acong tau apa yang terjadi demgan Gigi. Edgar juga sudah menceritakan padanya perihal kejadian di acara nikahan mantan Gigi.

"AAADOOH!!" Gigi mengusap keningnya terasa perih, kala merasakan terbentur sesuatu yang bahkan Gigi lupa ada tiang atau tembok di dekat lift. Gigi meragapnya, tangannya gemeteran. Kepalanya terangkat, bersamaan saat itu juga Gigi menahan malu. Untung saja hanya beberapa orang yang melihatnya. Ternyata bukan tiang ataupun tembok, melainkan dada Edgar.

"Jalan nunduk tidak baik Anggi Maharani."

"Maaf pak Edgar,"

"Angkat wajah kamu."

"Udah."

"Gibas rambut kamu." Anehnya Gigi menuruti perkatan atasannya tersebut. Lalu menghela nafas, menatap di sekitarnya. "Masuk lift gak?"

"Males liat lift."

"Masuk." Edgar menarik tangan Gigi, bahkan Gigi juga tidak berontak. Ia ikut saja ke mana badan maju. Lagi dan lagi nafas Gigi terdengar sangat keras.

"SIALAN!!" Edgar terjengit kaget, untung saja hanya ada mereka berdua di dalam lift. Lalu Gigi menatap Edgar dengan tatapan ingin membunuh. Mungkin kalau saja ada sesuatu yang bisa Gigi gunakan, sudah di pastikan Edgar jadi korban. "Liat aja, gue kutili satu-persatu mahluk pria yang menyakiti perempuan."

"Gi, Keluar."

"Iyah." Gigi berjalan meninggalkan Edgar yang melongo. Bahkan langkah kakinya begitu cepat, padahal pakai wedges. Sangat menakjubkan hingga membuat Edgar tersenyum.

"Anjir emang!!" Ujar Gigi, tangannya sudah menggebrak meja. Edgar yang melewati meja Gigi, mengelus dadanya pelan. Lalu memberi kode pada Acong agar ikut ke ruangannya. "Minta gue santet semuanya."

"Gi, sadar Gi. Serem liat lo ngamuk kagak ada alasannya." Gigi menatap Dimas dengan tatapan seolah ingin memakan Dimas. Sampai Dimas memundurkan wajahnya, merasa serem liat Gigi.

"Kenapa sih, lo?" Ujar Sarah makin bingung, lalu menarik wajah Gigi. Matanya sembab, belum lagi wajahnya tanpa make up.

"Lagi marah." Kata Gigi dengan dengusan yang membuat Dimas mengangkat wajahnya. Untuk pertama kalinya, Dimas melihat seorang Anggi Maharani marah tidak jelas.

"Ya, kenapa?"

"Lo tau Jevan?" Ujar Gigi, lalu sadar di ruangan tersebut banyak karyawan. "Nikah sama sepupu gue."

"ASTAGFIRULLAH!!" Jerit Dimas karena saking kagetnya dengar info yang menyedihkan. Dan Dimas mendapatkan tatapan dari beberapa karyawan, bahkan Sarah sudah memukul kepala Dimas. Acong dan Edgar dari ruangan, melihat ke arah meja Gigi.

ANGGI MAHARANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang