SEBELAS

697 103 2
                                    

Suasana Kantin memang selalu menarik. Ada yang gibah, pacaran, bahkan nyanyi bareng.
Gigi, sejak tadi benar-benar diam. Temboknya semakin kokoh, sampai tidak ada tawa sedikitpun.

"Itu kelayen pak Shaka?" Acong mengangguk untuk jawaban Sarah barusan. "Bukannya dulu pernah terkait kasus narkoba, bener gasih!?"

"Tetangga gue itu." Sela Acong, ketiganya menoleh kaget. Yang benar saja Acong punya tetangga pengusaha, mantan narapidana lagi. Biasanya Acong cerita.

"Tapi masih muda." Kata Dimas yang kini memperhatikan ke arah meja Shaka. Gigi, sama sekali tidak tertarik dengan obrolan mereka. Ia masih menikmati makanannya. Apalagi sampai melihat ke arah meja Shaka, jangan harap.

"Dia pernah narkobaan dong?" Kepala Acong menggeleng, menjadi sebuah pertanyaan di kepala Sarah.

"Dia belum nyoba, keburu ada polisi nangkep dia." Jelas Acong, sedikit menoleh ke arah meja Shaka. Lalu menatap Gigi sekilas.

"Di penjara?"

"Yang gue tau sih di penjara, dan setelah itu kagak tau gue. Ini baru liat lagi, pun wajahnya nggak rubah. Jadi, gue masih bisa mengenali."

"Lagian mana bisa dia berubah. Di kata powerrangers?" Sela Sarah kesal, tak lupa tangannya menggeplak bahu Acong. Dimas hanya terkekeh melihat kelakuan teman-temannya.

"Gi, cowok ganteng. Lo pasti tertarik." Goda Dimas pada Gigi yang anteng main ponsel. Entah mengapa Gigi memang benar tidak tertarik. Menurut Gigi seganteng apapun orang tersebut, Bapak Rizal tetap nomor wahid di hati Gigi.

"Makasi Dim, nanti aja gue liatnya. Makanan lebih penting."

"Nggak seru." Keluh Sarah memaksakan kepala Gigi agar menoleh. Dan seperti sebuah takdir, laki-laki yang sejak tadi jadi bahan pembicaraan mereka, kini menoleh. "Ganteng kan, Gi?"

Gigi masih terdiam kaku, tatapan mata mereka bertemu begitu lama. Tak lama Gigi malah berdiri, hampir saja menabrak kursi duduknya.

"Gi, napa hey?" Sarah mengguncang bahu Gigi dari arah belakang. Namun Gigi masih berdiri dengan pandangan ke arah meja Shaka.

"Yah terpincut inimah." Ledek Acong dengan wajah menyebalkan. Andai Gigi sadar, pasti sudah habis di geplak.

"Move on Gigi cepat." Dimas menatap Gigi dan laki-laki yang di sebrang sana. Keduanya seperti ada sesuatu yang entah mengapa Dimas curiga.

"Ed?" Gumam Gigi dengan susah payah menghela nafas. Sepertinya Gigi sedang mimpi, dan mungkin saja dia bukan orangnya. "Cong, namanya siapa?"

"Yailah Gi, kagak denger tadi kita bahas dia." Sela Sarah yang berdiri, ikut menatap pria yang kini masih tetap di posisi sama.

"Edgar." Kepala Gigi menoleh cepat ke arah Acong, memastikan dengan benar. Lalu kepala Acong mengangguk. Sarah duduk kembali, merasa ini ada yang aneh dengan Gigi.

"Gue duluan." Gigi melangkah cepat, tidak mempedulikan teriakan mereka yang kini ikut mengejar Gigi. Ini tidak seperti biasanya Gigi main tinggal saja. Padahal Gigi yang minta kalau balik kantor, jangan saling meninggalkan. Lalu ini apa? Sarah sampai tidak percaya dengan hal barusan.

"Dia nggak ngenalin gue?" Gigi menoleh ke arah meja Edgar. Nampaknya tidak ada tanda-tanda Edgar akan mengejarnya. Terlalu berharap adalah sifat Gigi. Jalannya lunglai seperti orang habis patah hati. Gigi melihat sekeliling ruangan, lalu menoleh ke belakang. Langkah semakin cepat menuju meja kerja. Dengan lesu, Gigi duduk di kursi, kepala mendongkak bersamaan dengan helaan nafas berat.

"Sejahat itu dia sama gue? Nggak ada penjelasan apapun. Bahkan manggil aja, kagak." Gigi terus saja berbicara sendiri, sampai ketiga temannya datang, Gigi tidak menyadari.

ANGGI MAHARANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang