DUA PULUH SATU

750 110 4
                                    

Gigi berjalan dengan gaya angkuhnya, dan mengabaikan Shaka beserta calon istrinya tengah berjalan dari arah pintu samping. Gigi juga sudah tidak lagi berurusan dengan anaknya Shaka. Untuk apa? Mencari perhatian? Yang ada Gigi bisa di sangka mau rebut papanya.

"Gi."

"Pad Edgar?"

"Kenapa pandangan kamu lurus aja?"

"Males lirik kiri-kanan, takut mata saya perih."

"Kelilipan?"

"Lebih tepatnya keracunan." Katanya dengan nada judes. Setelah itu, Gigi meninggalkan Edgar keheranan.

"Ada pak Shaka di belakang." Bisik Acong tepat di telinga Edgar. Lalu keduanya menoleh, mendapatkan calon suami istri bahagia. Edgar mendengus dengan reaksi Gigi tadi. Sepertinya Gigi type yang tidak mau ada urusan lagi dengan orang yang menyakitinya.

Apakah Edgar termasuk yang pernah menyakiti Gigi?

"Ed."

"Hemm."

"Baru sampe?"

"Ya, seperti yang di lihat."

Shaka mengangguk, lalu pamit dengan tangannya yang menempel pada tangan Seira. Benar-benar definisi duda pubertas kedua. Edgar menghela nafas, lalu lanjut jalan. Meja Gigi kosong, tadi Edgar lihat, Gigi sudah lebih dulu masuk kantor. Kemana lagi satu manusia itu. Kadang Edgar selalu bingung melihat meja kerja Gigi. Kadang kosong, kadang ada orangnya terus.

"Gigi kemana?"

"Dapur, Edgar." Suara Acong menahan kesal. Kalau suka tinggal laksana, bucin banget mesti main umpet. "Palingan bikin teh,"

"Untuk?" Dan benar-benar Acong menahan kesalnya. Mereka berdua sudah ada di ruangan milik Edgar. Dengan pelan, Acong menghirup udara agar tidak terbawa emosi. Masih pagi, punya bos bikin kesel aja. Apa Edgar tidak tau kalau Acong paling tidak suka di tanya-tanya? Andai bukan bos, udah Acong dorong ke laut.

"Anggi Maharani." Edgar mengangguk, lalu duduk di kursinya. Sekilas melihat keluar ruangan, dan Gigi sudah duduk di kursi kerjanya. Edgar menatap Acong dengan senyumannya. Tidak salah memang menjadikan Wisnu Amirudin asistennya.

"Boleh saya balik kerja?"

"Oh, maaf." Acong menatap Edgar tak percaya. Apa dia melupakan fakta, bahwa Acong juga harus kerja. Dan kata maaf Edgar, biasanya mengandung kesulitan. "Saya lupa, untuk hari ini kamu tidak perlu kerja di kantor."

"Lalu?" Edgar meletakan berkas di map berwarna kuning. Setelah itu Edgar memberikan kode untuk Acong membacanya.

"Duduk di sofa, Nu. Kamu pelajari." Acong sibuk mempelajari berkas yang di berikan Edgar. Tak lama ada suara ketukan pintu, yang di mana sosok Wita. Acong tidak peduli kehadiran sekertaris Edgar. Dulu Wita memang HRD, namun Edgar merekrut jadi sekertarisnya.

"Ed,"

"Kantor mbak Wita, agak sopan." Bukan Edgar, melainkan Acong yang masih dengan posisinya. Edgar menggeleng tersenyum, mengamati Acong yang tengah serius. Wita hanya memutar bola mata jengah.

"Kamu bawa Wisnu, dia yang akan presentasi mengenai kontrak kerja kita dengan perusahaan pak Ilham."

"Acong?" Wita menatap Edgar tak percaya, Acong bahkan berdiri mendengar ucapan Edgar. Rencana apalagi yang tengah Edgar susun. Acong masih menahan nafasnya, lalu matanya menangkap tatapan Gigi tengah melihat ke arah ruangan Edgar. Oh Tuhan, Acong ingin lari rasanya, minta tolong pada Gigi.

"Ed, jangan macem-macem. Gue hajar lo." Ujar Acong dengan nada kesalnya. Bos satu ini memang perlu Acong kasih tanda di bagian pipinya.

"Kenapa?" Edgar berdiri meneliti Acong, kepalanya mengangguk. "Kamu bisa, Nu. Pelan-pelan. Wita akan ajarin kamu."

ANGGI MAHARANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang