🧕🏽tante: "aduh aduh, nin panas ga?"
👩🏽nina: "panaslah nte, masa ngga 😡🤬🥵"🤭😆
Maaf sayang2nya tanteeee... ini ngetiknya ngebut krn seharian ada ibu pemilik kostan yg bertandang dan ngobrol sampe jam kelar sholat maghrib
Bsk tante beresin ini chapnya, jgn di komenin ya chap2 terakhirnya
Nina POV
Berpacaran dengan Adam bukanlah salah satu pencapaian dalam hidupku.
Seperti yang dulu pernah aku katakan pada Dewi, tidak pernah terpikir olehku berpacaran dengan orang pelupa, terlebih sebelumnya aku berpacaran dengan Anwar si anak pemalas dan ambekan.
Sampai aku berpikir kaya gak ada lelaki lain aja di dunia ini, amit-amit kalau pacaran sama orang pelupa.
"Kamu kok bisa setuju jadi pacarnya Adam, dek?"
Pertanyaan itu lagi yang aku dengar. Pertanyaan bang Toni sama anehnya terdengar seperti waktu dia bertanya kenapa aku menerima menjadi asistennya Adam.
Sudah berjalan tiga hari sejak aku dan Adam memulai hubungan baru, dan sejak saat itu pula bang Toni kerap bertanya padaku kenapa aku bisa menjadi kekasih salah satu pemegang saham perusahaan ini.
"Memangnya kenapa sih? Apa yang salah pacaran sama Adam?" Aku balik bertanya pada bang Toni yang menatapku dari balik meja kerjanya.
"Gak ada yang salah sih" Bang Toni bergumam dengan wajah menunduk, seakan tidak ingin aku mendengar perkataannya.
"Untuk urusan karir kamu cukup sukses, tapi untuk urusan asmara kamu tuh kaya kena kutukan" Lanjutnya dengan mendongak.
"Pacaran lama sama Anwar yang pemalas sekarang pacaran sama Adam yang pelupa, mudah-mudahan besok-besok gak dapat pacar yang sifatnya lebih parah dari mereka berdua"
"Ngomong apaan sih bang?" Sungutku kesal lalu membanting majalah yang dari tadi halamannya hanya aku bolak-balik.
Dari sejak aku dan Adam memulai hubungan, bang Toni seakan tidak menyetujui hubungan kami ini, padahal kalau di ingat-ingat, bang Toni dan ibu sepertinya tidak mempermasalahkan Adam yang menyentuhku berkali-kali ketika aku menceritakan kejadian memalukan kepada mereka.
Kan aneh kalau sekarang bang Toni terlihat tidak setuju aku dan Adam berpacaran.
Suara notifikasi pesan terdengar seakan menyelamatkanku, aku langsung mengambil handphone milikku yang tergeletak di atas meja.
"Mbak Nin, elu di mana deh?"
Aku hanya membaca pesan dari Dewi karena perempuan itu pasti hanya iseng menanyakan keberadaanku.
Padahal sekarang jam dua lewat, waktunya bersantai karena tidak ada lagi model yang harus di rias sehingga aku menyambangin ruangan bang Toni.
Tidak lama kemudian suara deringan handphone milikku berbunyi, aku melihat nama si penelpon.
"Kenapa sih Dew? Memangnya ada model yang datang telat baru minta dirias?" Tanyaku langsung begitu aku mengggeser tombol hijau.
"Mbak, elu di mana? Cepetan ke ruang pemotretan, buruannn!!!" Suara Dewi terdengar panik sebelum dia memutuskan hubungan telepon.
"Itu anak kenapa sih?" Tanyaku dengan kernyitan kening.
Adam keringetan dan riasannya harus di perbaiki? Atau ada model lain yang harus di rias ulang?"Bang gue cabut dulu ya" Pamitku.
"Dari tadi kek dek, abang gak enak mau ngusir calon istri pemegang saham kedua perusahaan ini"
"Dih, apaan sih bang" Sahutku sebelum menutup pintu ruang kerja bang Toni dengan bantingan kencang, biar bang Toni sadar aku tidak menyukai sindirannya itu.
Calon istri? Jadi pacar orang pelupa aja bukan pencapaian hidupku, apalagi jadi calon istri, tubuhku bergidik ngeri membayangkan sisa hidup ku habiskan bersama orang pelupa, bisa-bisa tiap hari makan ati dan minumnya teh botol sos*o.
Dengan langkah tergesa aku berjalan ke arah ruang pemotretan karena handphoneku kembali di hubungi oleh Dewi.
"Kenap..."
"Gue seharusnya gak bolehin elu ngeliat beginian, tapi daripada entar elu liatnya dari majalah, mending liat pacar elu langsung tuh" Dewi langsung menggiringku masuk lebih ke dalam ruang pemotretan yang pencahayaannya sedikit gelap.
Tanpa sadar rahangku mengetat dengan mata memicing ke arah tempat di mana Adam dan Bianca berada.
"Panas gak mbak? Panaslah, masa nggak" Dewi berkata sepelan mungkin tetapi mampu menyiram minyak tanah pada api yang sedang menyala di dalam kepalaku.
Siapa yang tidak panas menyaksikan dengan mata kepala sendiri melihat pacar berciuman dengan perempuan lain.
"Sabar mbak, sabar, kontosnya om Adam gak mungkin turn on kan" Dewi mengusap-usap lenganku.
"Adam model professional, kontosnya gak mungkin berdiri karena pose ciuman begitu, kontosnya Adam cuma bisa berdiri karena sentuhan gue doang" Ucapku lebih menenangkan diri sendiri.
"Iya, iya bener, tapi elu beneran gak kenapa-napa kan mbak? Mata elu berair kaya lagi ngupas bawang"
Aku menyeka air mata dari sudut mataku, bukan air mata sedih tetapi mataku berasa panas dan tanpa sadar mengeluarkan isinya.
"Siapa sih yang ngusulin konsep pemotretan kaya begini? Sekarang emang udah bukan bulan puasa, gak hormatin pacarnya om Adam banget pemotretannya begitu" Sungutan Dewi mengingatkanku pada perkataannya waktu Adam melakukan photoshoot bersama Angela.
Sedangkan kali ini Adam melakukan pemotretan bersama dengan Bianca.
"Gila, sengerti-ngertinya profesi pacar, gue sih gak mau liat pacar sendiri ciuman hot begitu sama perempuan lain"
"Aww... kenapa sih mbak?" Ringis Dewi setelah mendapat toyoran tanganku.
"Omongan elu itu provokator banget, gue balik ke ruangan" Ucapku lalu memutar tubuh dan melangkah keluar.
Aku harus percaya pada Adam, pacarku itu pasti memegang ucapannya sendiri, Adam model professional, kontosnya tidak mungkin turn on sepanjang pemotretan.
Tanganku meraih bantal sofa lalu mendekapnya erat dengan tubuh meringkuk. Dewi tidak mengikutiku kembali ke ruang rias, dia pasti senang melihat pemandangan orang berciuman secara langsung yang membuat memesnya basah.
Aku meringis dengan tangan menepuk kening, bisa-bisanya otakku kembali berpikiran mesum.
Suara pintu terdengar, aku terlalu malas untuk melihat siapa yang masuk ruangan ini, mungkin Dewi, dia sudah bosan melihat pose-pose mesra antara Adam dan Bianca sehingga membuat memes Dewi basah seperti biasa.
Usapan pelan di punggung dan tak lama kemudian tubuhku melayang dan mendarat di paha membuat mataku melebar kaget.
"Kenapa keluar dari ruang pemotretan?" Adam bertanya lalu wajahnya masuk ke relung leherku.
Punggungku menegak lalu kedua tanganku mendorong tubuh Adam dan aku berdiri.
Adam dengan cepat memegang pinggulku.
"I miss you" Ucap Adam pelan setelah aku kembali duduk di pahanya.
Aku menatapnya bingung.
"Gak liat kamu berapa jam, kangen kamu" Lanjutnya lagi.
Adam kenapa ya?
Tbc
17/7/21

KAMU SEDANG MEMBACA
Pelupa
HumorWarning for +21 only Penulis hanya menuangkan ide cerita, tidak menganjurkan untuk dipraktekkan, harap bijak dalam membaca Happy reading 6/3/21 - 31/7/21