15|Tertekan

68 12 15
                                    

Rifqi mengerjapkan matanya menyesuaikan dengan cahaya sekitar. Pandangan pertama yang ia lihat adalah semua keluarganya ada disekitarnya.

"Alhamdulillah mas, mas bangun juga," ucap Zea.

"Ngapain kalian nemenin aku? Masih inget ada aku? Kirain cuma kak Thalita aja yang kalian inget," lirih Rifqi dengan sinis.

"Kamu iri sama kak Lita, Qi?" selidik Rafka.

"Salah kalo aku iri? Giliran kak Thalita yang sakit semua aja perhatian! Sedangkan aku?" jawab Rifqi.

"Terus sekarang ini kita lagi ngapain hem? Kamu udah sadar sepenuhnya belum si ngomong ngelantur kayak gitu?" tanya Rafka heran.

"Masih untung ditemenin malah bangun-bangun ngomel ngga jelas," gerutu Rafka.

Rifqi menyeringit bingung. Ia meniliti sekitar. Ada yang aneh.

'Hah rumah sakit?' batin Rifqi terkejut.

Ia melirik tangannya yang terdapat infus. Ia juga berada di atas brankar.

"Qiqi kenapa? Kok bisa disini?" tanya Rifqi.

"Aku ngga tau sebenarnya kamu kenapa. Cuma pas aku masuk ke rumah kamu, kamu udah pingsan di lantai bawah tangga. Kepala dan hidung kamu udah penuh darah makanya kamu bisa disini. Kamu udah dua hari dirawat dan baru sadar sekarang," jelas Rafka.

Rifqi terdiam mengingat apa yang terjadi dengan dirinya.

"Mas, sebenarnya mas Qiqi kenapa? Coba jelasin pelan-pelan," tanya Zea.

"Awalnya mas kesel gara-gara mas pengen dimanja adek. Mas kangen manja-manja sama adek. Tapi adek malah lebih mentingin kak Thalita. Terus mas ke kamar, niatnya mau nenangin hati biar ngga tambah emosi. Mau tidur malah laper. Akhirnya mau ngga mau mas turun lagi buat makan. Belum sempet sampai dapur perut mas udah kerasa sakit dan sampai dapur ternyata makanannya pedes semua. Tapi karena udah laper tetep mas makan. Paling baru setengah piring yang kemakan perutnya makin perih. Perih banget malahan. Jadi mas mau balik kamar buat minum obat. Tapi malah sebelum naik tangga, mas ngga kuat jalan lagi. Ditambah mimisan juga. Tapi mas paksain jalan. Sekitar di tangga ke lima kalo ngga salah, mas kepleset. Mungkin itu yang bikin mas jatuh kebawah." jelas Rifqi.

"Maaf ya mas. Adek udah mengabaikan mas Qiqi. Kalo aja adek lebih milih nemenin mas, pasti mas ngga bakal kayak gini," ucap Zea.

"Ngga papa sayang. Mungkin ini memang takdirnya. Ini bukan salah adek." jawab Rifqi.

"Allah memang Maha Baik ya. Qiqi iri sama kak Thalita gara-gara semua perhatian yang kalian berikan padahal memang sudah sewajarnya seperti itu. Dan sekarang Allah ngasih Qiqi sakit lalu kalian semua berkumpul di samping Qiqi," ucap Rifqi dengan ekspresi yang sulit diartikan.

Entah apa yang ada dipikiran Rifqi sekarang. Tatapan serta nada bicaranya seakan menyiratkan jika ia juga butuh perhatian. Ia juga punya perasaan ingin mendapatkan kasih sayang dari keluarganya. Tapi mengatakan langsung pun ia tak bisa. Bagaimana lagi? Selama ini ia selalu menyembunyikan apa yang terjadi dengannya. Entah tentang kesehatan ataupun pekerjaannya, Rifqi selalu diam memendam semua sendiri. Ini untuk pertama kalinya Rifqi berani mengungkapkan apa yang ia rasakan. Itupun dalam keadaan masih setengah sadar.

"Tolong keluar dulu! Biarkan Qiqi sendiri!" pinta Rifqi sedikit bergetar.

"Mas.." lirih Zea.

"Keluar!" pinta Rifqi lagi.

"Udah dek, biarkan Qiqi tenang dulu," ucap Raffan membawa Zea keluar.

Semuanya keluar ruangan. Mereka hanya memperhatikan Rifqi dari balik pintu. Terlihat Rifqi mulai meneteskan air matanya. Bahkan ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Isakannya terdengar jelas menghiasi ruangan.

Jannah BersamaMu[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang