Setelah beberapa hari menjalani perawatan, Thalita akhirnya pulang ke rumah. Sebenarnya Rifqi masih belum mengizinkan pulang. Tapi Thalita tak enak pada Rifqi. Karena semua biaya pengobatannya menggunakan uang Rifqi. Walaupun adiknya sendiri tetap saja tak enak. Setiap Thalita dan Raffan ingin menggantinya, Rifqi selalu menolak. Rifqi selalu menjawab, 'Dulu sewaktu adek sakit di pesantren juga kalian yang selalu tanggung jawab biayain, apalagi adek jarang bilang ke umi abi. Pastinya sudah banyak uang yang kalian keluarkan buat pengobatan adek dulu. Jadi, sekarang adek udah bisa menghasilkan uang sendiri, adek pengen ganti apa yang sudah kalian kasih, walaupun ini ngga seberapa dari kasih sayang yang kalian berikan ke adek selama ini,'.
Baik Raffan maupun Thalita, tak menyangka adik kecil mereka bisa sedewasa ini. Walau kadang tingkahnya masih kekanak-kanakan tapi siapa sangka, Rifqi bisa berpikir sampai situ. Mereka sangat bangga pada Rifqi. Dan sekarang, Rifqi memutuskan menjadi dokter pribadi Thalita. Tapi bukan berarti ia akan meninggalkan pekerjaan.
"Kak, kenapa si maksa pulang terus?" tanya Rifqi.
"Dek, kakak ngga enak sama adek, masa adek ngga ngebolehin kakak bayar sedikit pun," jawab Thalita.
"Bener dek, kamu kan juga butuh uang pastinya. Apalagi sekarang dek Zea hamil besar, paling 3 bulan lagi bakal lahiran kan pasti butuh biaya banyak," sambung Raffan menimpali, "kalo kakak boleh bantu walaupun hanya setengahnya kalo kamu emang mau bantu, ngga papa dek tapi jangan semuanya lah," lanjutnya.
Rifqi menghela nafas panjang.
"Kak, dengerin adek. Adek berbuat gini bukan karena apa-apa. Adek cuma mau kasih yang terbaik. Kalian ini penguat adek selama ini, terutama kak Thalita. Adek ngga mau terjadi sesuatu sama kakak. Kakak pasti udah dikasih tau sama mas Eza kan? Apa yang akan terjadi kalo sampai kakak kenapa-napa. Dunia adek bisa hancur kak, kalo sampai adek kehilangan kakak," jelas Rifqi.
Tak terasa air mata Rifqi sudah menetes membasahi pipinya. Thalita langsung memeluk Rifqi.
"Adek rapuh kalo tanpa kakak. Apa yang ada pada diri adek sekarang juga karena kakak," lirih Rifqi.
"Sstt iya iya, kakak ngga kemana-mana ya, jangan nangis dek," ucap Thalita.
'Ternyata yang dek Eza omongin di mimpi itu bukan sekedar mimpi biasa. Tapi semua itu memang bisa terjadi, adek akan terpuruk kalo aku tinggal. Tapi jika Allah sudah berkehendak aku pulang, aku ngga bisa menolak,' batin Thalita.
"Dek, kakak inget perkataan dek Eza dimimpi kakak. Dia bilang katanya jalan kakak sembuh itu dari antara mas Raffan atau anak-anak kakak. Kakak ngga paham maksudnya apa." jelas Thalita, "apa adek tau?" tanya Thalita.
Rifqi langsung melepaskan pelukannya dan memutar otaknya.
"Kak, apa kakak mengizinkan jika adek ambil sample sumsum tulang belakang Zahra atau Fadhlan? Karena mungkin mas Eza ngasih kode kalo adek yang jadi pendonor bakal gagal makanya ngga sebut adek," ujar Rifqi.
"Dek, apa ngga bahaya buat anak-anak seumuran mereka?" tanya Raffan.
"In Sya Allah ngga kalo daya tahan tubuhnya kuat," jawab Rifqi.
"Kakak takut membahayakan mereka dek," ucap Thalita.
'Berarti kakak ngga takut adek dalam bahaya? Padahal sebenarnya adek dalam bahaya kak, walau ngga terlalu bahaya cuma sekedar drop biasa tapi dropnya adek ngga pernah main-main. Tapi ngga papa lah. Dulu aja kak Raffan ngorbanin keselamatannya, setidaknya sekarang gantian aku, walau ngga langsung ke kak Raffan,' batin Rifqi.
"Adek ngga maksa, kita coba dari adek dulu. Kalo semisal gagal ngga ada jalan lain, tapi semoga langsung berhasil ya kak," ucap Rifqi.
"Adek juga ngga terpaksa ngelakuin ini kan?" tanya Thalita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jannah BersamaMu[END]
Fanfiction[Squel KEKUATAN CINTA] Menyembunyikan rahasia dengan alasan takut? Itu salah besar. Bukannya menyelesaikan masalah tapi malah membuat masalah baru. Bagaimana rasanya jika harus memilih satu diantara dua yang kita sayang? Sakit pastinya. Diuji denga...