PART 4

34.3K 3K 142
                                    

Jam 17.15

Kafe Antimikroba

Ghafi mulai merasakan tanda-tanda sakit kepala menghadapi sikap Sabira.

Ini baru menit ke-15 mereka berbincang. Ibarat pertandingan sepak bola, belum masuk ke dua babak pertandingan.

15 menit itu justru waktu istirahat antara babak pertama dan babak kedua. Tapi Ghafi sudah merasa babak belur duluan.

"Mas Ghafi?"

Iya Dek Sabira. Eh...

Bolehkah hati Ghafi menghangat sore hari ini? Seumur-umur baru Sabira lho, yang memanggilnya dengan sebutan 'Mas'.

Di kantor, Ghafi dipanggil 'Pak'. Sedangkan kekasihnya terdahulu, biasa memanggilnya "Babe" atau "Honey."

"Apa saya panggil Pak Ghafi aja?"

"Nggak apa-apa. Saya nggak keberatan dipanggil Mas."

Ghafi berdehem.

"Jadi begini Mas. Saya memiliki win-win solution untuk masalah kita."

Kita?

Mengapa Ghafi merasa seperti sedang masuk ke dalam tim kerjanya Sabira.

Sebenarnya kerja sama apa yang akan mereka bangun?

"Apa itu?" suara Ghafi terdengar dingin. Tentu saja demi menjaga citra dan wibawanya.

Ia tidak mau bersikap lunak di depan Sabira. Bisa-bisa gadis muda ini menindasnya.

"Mas Ghafi mau menikah tahun ini 'kan?"

"Bukan urusan kamu." Ghafi menjawab ketus.

"Mamanya Mas Ghafi mau calon menantunya dokter, 'kan?"

Hampir saja Ghafi menatap bulat-bulat ke arah Sabira.

"Dokter atau bukan, saya tidak akan cerita sama kamu."

Ghafi mengubah posisi, melipat kedua lengannya di depan dada. Melihat Sabira dengan pongah.

Apa sebenarnya rencana licik rubah kecil ini? Gumam Ghafi dalam hati.

"Kalau begitu. Izinkan saya mengenalkan diri kembali. Perkenalkan, saya Sabira Putri. Medical advisor and Marriage Consultant untuk Mas Ghafi."

Tanpa mengulurkan tangan, Sabira mengucapkan salam seraya menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada.

Astaghfirullah.

Hampir saja Ghafi tertawa lepas, melihat gaya Sabira yang sok-sokan mengklaim dirinya sebagai penasihat kesehatan dan pernikahan.

Apa-apaan ini.

"Maksud kamu gimana? Saya nggak ngerti." Ghafi menatap Sabira tanpa minat.

Sementara gadis di depannya terlihat bersemangat.

"Jadi, saya akan membantu mencari calon istri idaman Mas dan Mamanya Mas. Selanjutnya Mas Ghafi juga membantu saya bertemu laki-laki yang akan menjadi calon suami saya. Kuncinya di antara kita harus ada saling keterbukaan, kejujuran dan kepercayaan. Ini bisa dibilang simbiosis mutualisme. Sehingga dapat menguntungkan kedua belah pihak. Mas mau 'kan?"

Ghafi ingin menolak mentah-mentah ide Sabira. Tapi ia jadi tidak tega melihat wajah polos dari Sabira yang sepertinya berharap banyak darinya.

"Maaf, tapi saya tidak berminat dengan tawaran kamu. Saya tadi mengatakan ingin menikah sama kamu, sebenarnya hanya untuk menguji. To tell the truth, kamu memang bukan tipe calon istri idaman saya."

MENAKLUKKAN MOUNT EVEREST Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang