Assalaamu'alaikum.
Siapa yang masih ingat dr Afif dan Hawa?
Kali ini Ummi mulai Ekstra Parts MME dengan kisah mereka.
Happy reading. 😍
***
Hawa Pov
Hari ini pertama kalinya aku tinggal di rumah yang asing. Rumah dokter Afif ternyata besar sekali, seperti istana yang pernah aku baca di cerita putri jaman dulu. Aku merasa canggung dan rasa percaya diriku jatuh ke titik nadir.
Ustadzah Aini dan suaminya, mendampingiku ke rumah dokter Afif. Yang mengendarai mobil adalah dokter Afif sendiri. Ustadz Firman duduk di jok depan, sementara aku dan Ustadzah duduk di kursi belakang.
Ada hati yang aku tinggalkan di pondok, namun sudah coba kuikhlaskankan semuanya. Hanya hatiku saja terkadang masih berkhianat, seiring dengan harapanku yang pupus. Tatkala mengetahui pada akhirnya Ustadz Syahrir bukanlah jodohku.
Lalu aku menerima tawaran dokter Afif untuk tinggal sementara di rumah orangtuanya. Rumah sebesar ini hanya ditinggali oleh dua orang lanjut usia, seorang asisten rumah tangga, seorang tukang kebun dan seorang supir pribadi.
Tadinya aku takut dianggap gadis desa yang salah masuk ke kota. Tapi diluar dugaan, semua tidak seseram apa yang kubayangkan. Mama dokter Afif dan suaminya menyambutku ramah. Ada Mbak Diani, adik bungsu dr Afif yang juga datang ke rumah dengan putra kecilnya yang tampan. Mereka semua tampak rindu kepada mas dokter Afif.
Kamar untukku telah disiapkan tepat di sebelah kamar Mbak Diani. Sekarang Mbak Diani telah tinggal bersama suaminya dan hanya menginap disini, kalau suaminya dinas keluar kota.
Kata Bu Amira -Mama dokter Afif, kamarku tadinya khusus untuk kamar tamu. Lama tidak ditempati, tapi sekarang sudah dibersihkan dan disedot debu. Meskipun mereka sangat baik, tapi aku tetap tidak enak tinggal lama disini.
Bagaimana pun, kami tidak ada relasi saudara. Aku memutuskan akan mencari kerja dan baru mengutarakan hal itu saat dokter Afif sudah kembali pulang ke pondok. Tidak seperti biasanya, kali ini dokter Afif lebih banyak diam. Bahkan saat makan malam, ia hanya mendengarkan cerita ayah dan ibunya.
Semalam, tanpa sengaja aku sengaja mendengar dokter Afif berbicara dengan kedua orangtuanya. Ponsel milikku tertinggal di ruang tamu dan habis baterai. Aku melintas di dekat teras depan rumah. Lamat terdengar kata-kata dokter Afif.
"Ma, Pa, titip Hawa disini. Anggap Hawa putri Mama sendiri. Dia anak yang baik dan nggak punya siapa-siapa di Jakarta. Kalau dia nanti mau kuliah, Insya Allah Afif bersedia membiayai. Afif masih punya tabungan."
Cepat aku mengambil ponsel di meja dan berjalan menuju kamar. Air mataku tumpah di atas bantal. Sungguh aku tidak ingin menjadi beban siapa pun. Meski aku tahu dokter Afif baik, tapi semua ini terlalu berlebihan untukku. Aku berjanji akan secepatnya pergi dari rumah ini, setelah memiliki pekerjaan tetap.
***
Rumah keluarga dr Rahman Akhtar
Suara adzan Shubuh berkumandang dan membuatku terjaga. Ya Allah, rupanya kasur empuk ini membuatku terlena. Aku sampai terlelap hingga melewatkan waktu sepertiga malam untuk shalat Tahajud.
Cepat aku turun dari tempat tidur dan merapikan seprai, bantal dan guling seperti semula. Aku membuka jendela dan tidak mendengar suara kokok ayam seperti di desa. Ah, iya aku lupa. Ini di kota yang berbeda suasananya dengan di desa.
Bergegas aku mengambil handuk dan membaca do'a masuk ke kamar mandi. Disana aku bercermin dan menatap wajahku seraya meraup air untuk membasuh hingga tampak segar.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENAKLUKKAN MOUNT EVEREST
Storie d'amoreKetika semesta mempertemukan dua insan yang berbeda suhu. Ghafi Altamis dan Sabira. Akankah suhu dingin Mount Everest mencair ketika bertemu suhu yang hangat. Ini bukan hanya cerita mengenai dua orang yang saling mencintai namun harus menghadapi ba...