PART 51

11K 974 118
                                    

Pondok Nurul Ihsan

Jam 21.00

Hari ini tempat praktek Afif berubah jadi kamar rawat inap sementara. Ada Bu Rahma, pemilik panti asuhan Ihsanul Fikri yang sejak siang tadi menjaga Hawa.

Ini hari ketiga Hawa demam dan tidak mau makan. Afif sudah menberi ultimatum, kalau besok Hawa masih belum perbaikan. Ia akan merujuk gadis itu untuk dirawat di rumah sakit.

Tapi Hawa adalah gadis 20 tahun yang kerasa kepala. Sudah beberapa hari ini Hawa nekad berteduh di rumah pohon, tidak jauh dari pondok milik Ustadz Muchlas.

Disana gadis itu sering menangis, saat tahu Ustadz Syahrir akan menikah dengan Ustadzah Maryam. Ternyata pendekatan Afif selama beberapa bulan ini dengan Hawa, belum membuahkan hasil. Gadis itu sangat menyukai Ustadz Syahrir dan kini patah hati.

Afif nekad ikut memanjat rumah pohon saat hujan deras, meminta Hawa pulang kembali ke Panti. Hasilnya ternyata nihil, karena ternyata gadis itu tidak mau. Afif yang menemani duduk di rumah pohon, akhirnya pergi karena Hawa tidak mau berbicara apapun dengannya.

Hasil dari patah hati dan berhari-hari menangis, ditambah lagi tidak ada nutrisi masuk menjadikan kondisi Hawa seperti ini. Lemah, lemas, demam karena dehidrasi. Kini gadis itu dirawat sementara di rumah yang menjadi tempat praktek Afif.

Afif mengetuk pintu kamar dan mempersilahkan Bu Rahma untuk kembali ke panti. Masih ada Rafika, santriwati yang menunggui Hawa. Rafika juga terlihat lelah dan Afif memintanya untuk istirahat di kamar sebelah.

Rumah praktik ini tadinya hanya terdiri dari dua kamar. Satu kamar untuk obat dan satu kamar untuk memeriksa pasien. Afif yang merenovasi rumah dengan uang tabungannya, sehingga bisa diperluas menjadi dua kamar tambahan.

Satu kamar untuk tindakan medis pasien dan satu kamar lagi tempat Afif beristirahat sebelum mulai praktik sore.

Layaknya dokter yang sedang bertugas jaga malam, Afif mengganti cairan infus Hawa yang sudah habis. Ia menghela napas panjang. Mencari cara untuk melunakkan hati gadis ini.

Makan malam berupa nasi lunak, sayur bayam, tempe bacem dan ayam semur buatan Ustadzah Bilqis sama sekali belum tersentuh. Makanan itu masih tergeletak manis di atas nakas.

Ia memutuskan untuk duduk di seberang Hawa yang menutup dirinya rapat dalam selimut.

Selama tiga bulan ini, Hawa telah menjadi asistennya di klinik. Ia masih ingat ketika pertama kali Hawa menerima gaji darinya. Wajah gadis itu sangat bahagia seperti anak kecil. Lucunya, gadis itu lebih menyukai uang berwarna biru daripada merah. Alasannya karena jumlah yang diterima lebih banyak.

Selain Hawa, ada Bu Risa yang membantu administrasi dan menyiapkan obat untuk pasien. Ada juga Pak Bejo yang menjadi petugas parkir sekaligus keamanan. Jadi Afif dan Hawa tidak pernah hanya berdua di dalam rumah.

Terkadang ada rasa rindu menyelinap di hati Afif, untuk melihat Hawa. Mereka hanya bertemu ketika jam praktek tiba. Hawa pernah ditegur Ustadzah Bilqis karena ketahuan beberapa kali mengantar buah ke kamar Afif. Sejak itu Hawa tidak lagi pernah datang.

Bagaimana pun mereka adalah dua insan yang bukan mahrom. Tidak layak untuk berduaan karena akan ada syaitan yang menjadi pihak ketiga.

Saat ini pun, rasa sayang di hati Afif mulai muncul untuk Hawa. Beberapa kali ia tanpa sadar memperhatikan gadis itu datang untuk membersihkan tempat praktek. Hawa selalu datang lebih awal. Setelah shalat Ashar, gadis itu sering duduk melihat anak-anak yang sedang asyik bermain layangan.

Tidak jarang tali layangan tersangkut di atas pohon dekat rumah dan dengan berani Hawa mengambil layangan itu. Berulang kali adrenalin Afif terpacu, karena ia takut Hawa akan jatuh dari pohon. Tapi gadis itu terlihat santai dan dengan cekatan turun dari pohon.

MENAKLUKKAN MOUNT EVEREST Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang