PART 28

18.5K 1.4K 107
                                    

Wisata Hati Wijaya Kusuma

Sampai di penginapan, Ghafi mengajak Sabira masuk ke rumah utama yang berjarak 200 meter dari lobi.

Ternyata ini yang dimaksud suaminya dengan tempat privasi. Bangunan ini lebih tepatnya seperti rumah minimalis yang terletak di pegunungan.

 Bangunan ini lebih tepatnya seperti rumah minimalis yang terletak di pegunungan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Makan siang telah tersedia di meja makan. Namun Ghafi dan Sabira memilih untuk membersihkan diri dan kemudian shalat Zhuhur berjama'ah.

Setelah mengucapkan salam di penghujung raka'at shalat, Ghafi mencium kening Sabira perlahan. Sabira balas mengecup punggung tangan suaminya dengan takzim.

"Makan yuk, Ra."

"Ayo, Mas." Sabira tersenyum manis.

Keduanya mengambil nasi, ayam goreng mentega dan sayur asam serta sambal matang. Lalu duduk di tepi kolam renang.

Ghafi memimpin do'a sebelum makan. Sabira makan dengan lahap karena dia sudah kelaparan. Melihat istrinya selalu antusias saat makan, membuat Ghafi tidak bisa berhenti tersenyum.

"Makan yang banyak, Sayang."

"Hehe... Nggak usah Mas minta, Rara juga sudah niat mau tambah."

Ghafi menahan tawa. Sepolos ini memang Sabira dan selalu tampil apa adanya. Sejak awal mereka bertemu, Sabira tidak pernah berpura-pura menjadi orang lain.

Justru inilah yang menjadi daya tarik istri Ghafi yang membuat pria itu ingin mengetahui lebih dalam lagi mengenai Sabira.

"Kalau Rara makan sayur, memang dipisah gitu ya?"

Ghafi baru memperhatikan cara makan istrinya, sejak dua hari terakhir. Sabira mengambil sayur di dalam mangkuk kecil. Sementara Ghafi langsung menuang sayur di atas nasi.

"Iya Mas. Sudah kebiasaan. Kalau sayurnya dicampur, malah nggak habis makannya."

Ghafi tersenyum tipis. Sesekali ia mengusap sudut bibir Sabira yang terdapat butiran nasi disana.

"Maaf, Rara berantakan kalau makan. Jadi malu."

Kedua pipi Sabira bersemu merah.

"Nggak apa-apa. Mau rapi atau berantakan, yang penting Mas tetap cinta."

Ghafi tersenyum.

"Coba nanti 10 tahun lagi, Mas masih bilang kayak begitu nggak sama Rara?"

Wajah Rara seolah hendak menguji kesungguhan suaminya.

"Masih dong."

Tanpa Sabira sempat menghindar, Ghafi mencium pipi istrinya dengan gemas.

"Dulu Mas mungkin bukan laki-laki yang baik. Tapi laki-laki tidak baik ini telah bertemu dengan perempuan baik yang telah mengubah pemikiran dan sikapnya untuk jadi lebih baik. Karena sampai sekarang Mas masih terus belajar untuk jadi sosok suami yang baik dan ayah untuk anak-anak kita."

MENAKLUKKAN MOUNT EVEREST Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang