Rumah Alvan dan Hilya
Hilya ditemani seorang sekuriti di dalam rumah, tampak berdiri di balik pintu gerbang. Dia mengajak Sabira masuk ke dalam rumah.
Benar-benar rumah impian dengan halaman luas, tanaman hijau dan bunga serta kolam ikan di depan teras. Suasana sejuk dan asri mewarnai atmosfer di sekeliling Sabira.
"Rumahnya enak banget, Mbak. Adem. Semoga nanti Rara sama Mas Ghafi bisa punya rumah kayak gini."
Hilya menanggapi dengan senyum dan mengaminkan.
"Sekarang Rara masih tinggal di apartemen, ya?"
"Iya Mbak. Alhamdulillah masih punya tempat untuk bobo."
Belum-belum Hilya sudah dibuat tertawa oleh ucapan Sabira.
Saat masuk ke dalam rumah, Sabira tidak lupa mengucapkan salam. Masya Allah, di dalam rumah juga hawanya adem banget. Terdengar lantunan suara murottal Al-Qur'an memenuhi ruang tamu.
"Silahkan duduk Rara. Mau minum apa? Teh, sirup atau..." Hilya menawarkan.
"Air putih aja Mbak. Eh iya, Rara tadi mampir beli Chiffon cake."
Sabira mengeluarkan kotak kue yang sempat dia beli di toko Yasmin Bakery di lantai dasar rumah sakit.
"Ya Allah Ra, jadi repot pakai bawain kue segala. Mbak hari ini kebetulan masak puding coklat. Kalau suka, Mbak potongin ya."
"Mau, Mbak."
Sabira memang tidak ada jaim-jaimnya soal makanan.
Hilya tersenyum senang.
"Pantas saja Mas Ghafi cinta banget sama Rara. Rara ternyata selalu ekspresif dan ceria. Bang Alvan yang sering cerita."
Pipi Sabira tiba-tiba blushing.
"Dari awal nikah, Rara nggak kenal sama Mas Ghafi. Tapi Rara sudah sepakat sama Mas, harus belajar mencintai satu sama lain."
"Bagus itu, Ra. Keren. Sama kayak mbak dan Bang Alvan. Cuma ketemu beberapa kali, terus dia ajak nikah."
Hilya berjalan ke dapur dan tanpa bantuan asisten rumah tangga, dengan cekatan dia membuatkan minuman. Dia membawa minuman dan piring berisi puding.
Dia memberi kesempatan Bibi untuk istirahat siang.
"Dicobain pudingnya, Ra. Tapi nggak tahu enak apa nggak."
"Rara cuci tangan dulu ya, Mbak."
Hilya menunjukkan letak dapur dan wastafel. Sabira berjalan melewati ruang tamu dan melihat ada foto pernikahan serta foto bayi Salwa disana.
Ada rasa haru sekaligus sedih ketika Sabira melihat kenangan tentang Salwa. Sejak Salwa tidak ada, Mas Ghafi sudah menghapus foto bayi cantik itu dari ponsel. Tapi Mas memindahkan foto-foto itu ke folder khusus di laptop.
Sabira bisa memahami. Mas saja yang bukan orangtua kandung Salwa, merasa kehilangan. Apalagi Mbak Hilya yang telah mengandung dan melahirkan.
Sabira menahan diri untuk tidak menitikkan air mata. Dia jadi melo sendiri.
Kembali ke ruang tamu, Mbak Hilya ternyata sudah memotong Chiffon cake yang dibawa oleh Sabira.
"Terima kasih Mbak."
Suasana hening menyelimuti keduanya.
"Maaf Rara mendadak datang kesini, nggak menelepon dulu."
Sabira berusaha mencairkan suasana.
"Iya, Mbak juga kaget. Perasaan Mbak belum pernah kasihtahu alamat rumah. Mungkin Rara tanya ke Mas Ghafi ya? Tapi tadi Bang Alvan nggak satu mobil dengan Mas Ghafi, 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
MENAKLUKKAN MOUNT EVEREST
RomanceKetika semesta mempertemukan dua insan yang berbeda suhu. Ghafi Altamis dan Sabira. Akankah suhu dingin Mount Everest mencair ketika bertemu suhu yang hangat. Ini bukan hanya cerita mengenai dua orang yang saling mencintai namun harus menghadapi ba...