PART 36

11.7K 1.1K 66
                                    

GA Tower

Ghafi Altamis pemilik gedung pencakar langit 30 lantai itu tengah menggelar rapat terbatas setelah beberapa kawasan wisatanya terkena kasus penyelidikan polisi.

Tiga bulan lalu, tempat wisatanya di daerah Tangerang diduga mencemari lingkungan sekitar dengan limbah resto. Alvan dan timnya berhasil mencari tahu sumber masalahnya.

Ternyata berasal dari saluran pembuangan limbah resto yang sengaja dirusak. Akhirnya sampai mengotori sungai yang melewati pemukiman warga.

Hari ini Ghafi mendapat laporan lagi, kali ini kampung wisata yang baru ia buka satu bulan lalu di Bogor. Kunjungan di akhir pekan meningkat tajam, dikarenakan sedang harga promosi.

Ada keluarga yang menyewa untuk acara pernikahan. Makan siang yang berasal dari resto berakhir dengan kejadian keracunan makanan para tamu dan pihak keluarga.

Karyawan Ghafi sudah lebih dulu meluncur ke lokasi dan sebentar lagi
ia juga akan menyusul. Ada Alvan dan Daffin sepupunya yang ikut menemani di ruang kerja Ghafi. Membahas masalah ini bersama.

Sementara berita ini berusaha mereka redam agar tidak sampai diliput media. Ghafi tidak ingin Sabira sampai tahu dan ikut memikirkan bisnisnya.

"Lo sependapat sama gue, Ghaf? Mirip banget modusnya waktu kafe gue dijadiin target transaksi narkoba. Dia berusaha bikin bisnis gue kolaps dengan cara kotor."

Minggu ini cukup pelik bagi Ghafi. Belum lagi ia sudah tiga kali mendampingi sidang perceraian Vian, kakak sulungnya di pengadilan. Ia melihat Vian mulai lelah dengan semuanya. Dari pernikahan dengan Renita, Bang Vian sudah memiliki dua anak.

Renita bersikeras memperjuangkan hak asuh anak-anak agar jatuh ke tangannya. Sementara Mama juga sering tiba-tiba sesak napas, karena ikut memikirkan nasib Vian dan juga kedua cucunya.

Ponsel milik Ghafi berdering.

Sabira.

"Sst... sebentar istri gue telepon."

Ghafi memilih keluar ruangan, meninggalkan Daffi berdua dengan Alvan.

"Bagaimana kabar Abang dan istri? Turut berbelasungkawa ya, Bang. Maaf baru sekarang bisa menyampaikan secara langsung." Daffin ikut berempati atas kehilangan Salwa, putri Alvan.

Ia sebenarnya tidak terlalu dekat dengan Alvan. Tapi mereka berdua terhubung oleh kehadiran Ghafi.

"Hilya istriku sehat, tapi sekarang banyak melamun. Dia nggak punya teman dekat. Setiap hari curhatnya cuma sama kucing peliharaan dan sama saya."

Alvan terlihat sedih saat menyampaikan kondisi istrinya.

"Sejak Abang punya Salwa, Ghafi sering cerita. Foto-fotonya Salwa banyak di galeri ponselnya."

"Iya, Ghafi memang sayang banget sama Salwa." Alvan mengakui hal itu.

"Istri Bang Alvan sudah kenal sama istrinya Ghafi, 'kan? Coba aja diajak ketemuan, biar lebih dekat. Teman akrabnya Sabira cuma Alana aja kayaknya. Biar istri Abang punya teman baru." Daffin mencoba memberi saran.

"Sudah kenalan pas Ghafi mau nikah. Tapi belum akrab. Hilya kadang suka nggak enak. Kalau mau kirim pesan atau telepon Rara, takut ganggu. Dokter 'kan sibuk."

Daffin tertawa kecil.

"Rara nggak sesibuk itu sih. Dia lebih sibuk kalau sudah di apartemen sama Ghafi. Manja banget tuh suaminya. Semenjak nikah, sudah jarang dia mampir ke kafe gue."

Alvan balas tersenyum.

"Iya, maksudnya juga itu. Takut ganggu pengantin baru."

Alvan berdehem kecil.

MENAKLUKKAN MOUNT EVEREST Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang