Madani Park Residence
Motor yang dikendarai Ghafi berbelok ke arah perumahan elite yang tidak familiar untuk Sabira.
"Mas, ini kita bukannya mau ke rumah Mama?"
Yang Sabira maksud malam ini mereka akan mampir ke rumah orangtua Ghafi.
Jemari Sabira nyaris lepas dari genggaman tangan kiri Ghafi, kalau tidak dipegang erat oleh pria itu. Ketika tahu rumah siapa yang akan mereka kunjungi.
Ada plang praktik disana.
dr M. Abyaz Alfahmi.
"Mas jahat, nggak bilang kalau mau ajak Rara kesini."
Tanpa Sabira duga, Ghafi mengajaknya berkunjung ke rumah dokter Abyaz. Mereka berhenti di depan rumah Blok B nomor 5 dengan pagar besi berwarna hitam. Rumah dua lantai itu tampak megah dan Ghafi berinisiatif menelepon ayah mertuanya, daripada memencet bel malam-malam.
Sabira menahan air mata lantaran kesal. Mas Ghafi seperti sengaja tidak memberitahu rencananya.
"Ayah kangen, ingin bertemu Rara. Mas pikir kita bisa sekalian mampir kesini, sebelum pulang."
Ghafi menjelaskan sambil menunggu dokter Abyaz mengangkat telepon. Sebenarnya ia juga tidak tahan melihat wajah Sabira yang merajuk. Ia sudah memprediksi akan jadi seperti ini.
"Mas seharusnya bisa bilang dulu sama Rara, kalau mau kesini."
Sabira masih memalingkan wajah. Banyak ketakutan di dirinya. Takut bertemu Tante Rima, istri dokter Abyaz dan juga Zalfa. Bukankah anak angkat dokter Abyaz itu sangat membencinya.
Sekarang Mas Ghafi seolah ikut ke dalam kubu ayah dan Sabira ditinggal sendirian. Tanpa pendukung sama sekali. Tiba-tiba saja dia jadi melankolis malam ini.
"Kalau Mas bilang dulu sama Rara, apa Rara tetap mau diajak kesini?" Ghafi bertanya lembut.
Sabira menggigit bibir karena Mas Ghafi sudah tahu jawaban yang sebenarnya.
Malam ini sepertinya akan menjadi malam yang panjang bagi Ghafi. Tapi ia tidak menyesali keputusannya. Sikap Sabira yang kadang masih kekanakan, menjadi tantangan tersendiri untuk ia taklukkan. Ia bukan tipe yang mudah menyerah dengan keadaan.
"Assalaamu'alaikum. Selamat malam, Ayah. Ghafi dan Rara sudah di depan gerbang."
Ghafi masih menelefon ayah mertuanya. Sementara Sabira duduk di tepi trotoar, terdiam.
Tidak lama, gerbang rumah dibuka secara otomatis dan dokter Abyaz muncul menghampiri putri dan anak mantunya.
Benar kata Ghafi, wajah pria 60 tahun itu menyiratkan kerinduan pada Sabira.
"Rara mau masuk dulu? Ada Bunda dan Zalfa di dalam."
Sabira dengan malas berdiri dan dia tidak bisa berpura-pura menunjukkan rasa tidak senang bertemu ayahnya.
"Rara cuma temani Mas Ghafi. Sudah malam juga, kapan-kapan aja Rara kesini lagi sama Mas."
Dokter Abyaz menatap sedih ke arah Sabira, karena putrinya masih saja enggan menyematkan panggilan 'ayah'.
Ghafi memberikan plastik putih berisi sate Padang ke ayah mertuanya.
"Ini sate Padang dari Rara untuk Ayah."
Iris coklat almond milik Sabira, menatap lekat ke arah suaminya. Mas Ghafi malah mengatakan sate itu dibeli oleh Sabira.
"Masya Allah, Alhamdulillah. Saya dan Bunda Mayang penyuka sate Padang, sejak dulu. Banyak makanan favorit kita yang teryata sama, Nak."
KAMU SEDANG MEMBACA
MENAKLUKKAN MOUNT EVEREST
RomanceKetika semesta mempertemukan dua insan yang berbeda suhu. Ghafi Altamis dan Sabira. Akankah suhu dingin Mount Everest mencair ketika bertemu suhu yang hangat. Ini bukan hanya cerita mengenai dua orang yang saling mencintai namun harus menghadapi ba...