Dua bulan kemudian.
Hawa Pov
Aku baru selesai shalat Dhuha di gazebo rumah mas Afif. Pemandangan taman bunga anggrek di sekelilingku, memanjakan mata siapa pun yang menatapnya. Hembusan angin yang berhembus, membuat mataku sejenak terpejam.
Ini sudah delapan pekan aku tinggal disini. Masih ada rasa malu bila mengingat, menghuni rumah ini tanpa harus membayar biasa sewa kos. Bahkan aku bisa menikmati makanan enak buatan Bibi dan Bu Amira. Aku benar-benar tidak mengeluarkan uang sepeser pun. Padahal aku sudah mengambil uang tabungan di koperasi pondok Ustadz Muchlas.
Tidak bisa selamanya aku hidup mengandalkan bantuan orang lain. Itu yang terus saja membebani hatiku. Diam-diam aku membuka internet di ponsel, mencari lowongan pekerjaan. Aku sengaja ikut bibi ke pasar dan pulangnya mampir ke rental komputer untuk mengetik lamaran. Bibi mau menunggu dan mengantarku ke kantor pos.
Aku memang belum memberitahu kedua orangtua mas Afif. Pikirku nanti aku akan bercerita kalau sudah diterima kerja. Ada toko kue yang juga baru buka, tepat di ruko depan komplek. Bibi memberitahuku dan rencana hari ini aku ingin datang kesana. Bibi bilang karyawan yang kerja disana, harus tinggal untuk menjaga toko.
Aku berharap masih ada kesempatan. Setidaknya untuk mengobati kesedihan di hatiku setelah browsing biaya kuliah. Biaya kuliah ternyata mahal, bisa mencapai dua juta sampai enam juta per semester untuk jurusan pendidikan guru yang ingin aku ambil. Biaya bisa mendapat keringanan, jika aku mau mengurus surat keterangan tidak mampu.
Meskipun aku pernah mendengar pembicaraan mas Afif dengan orangtuanya. Mengenai keinginan dia membiayai kuliahku, rasanya hal ini tetap tidak dibenarkan. Bagaimana bisa mas Afif berkorban begitu banyak untukku, sementara tidak ada yang bisa aku berikan untuknya.
Mas Afif jadi sering meneleponku setiap minggu hanya untuk memastikan aku baik-baik saja. Tepat setelah satu minggu lalu aku jatuh dari pohon. Kakiku tidak berpijak pada dahan yang tepat, saat mengambil kok.
Sore itu aku menikmati pemandangan romantis antara mama dan papa dari mas Afif yang sedang bermain bulutangkis. Di usia setua mereka, masih berolahraga meskipun tidak selincah pasangan usia muda.
Dokter Rahman terlalu keras memukul kok, hingga menyangkut di pohon belakang rumah. Aku dengan sigap menyanggupi untuk mengambil kok. Padahal Bu Amira sudah melarangku naik pohon, tapi aku tetap bandel.
Ternyata sisa hujan semalam membuat dahan basah dan licin. Sehingga aku jatuh dan terkilir. Bu Amira sampai membawaku ke klinik dokter Ortopedi dan kakiku dironsen. Alhamdulillah hanya otot yang terkilir dan bengkaknya bertahan beberapa hari.
Sejak kemarin nyerinya sudah berkurang dan aku sudah merasa jauh lebih baik.
"Kakinya sudah baikan, Nak?"
Suara lembut Bu Amira membuatku tersadar dari lamunan. Nasihat mas Afif semalam masih terngiang di telingaku. Kalau aku bandel lagi, mas Afif mau kesini. Kembali ke rumahnya dan mengembalikan aku ke desa.
Tentu saja aku tidak mau. Aku ingin kembali setelah menjadi orang yang lebih sukses. Paling tidak, aku pernah menghasilkan rupiah di ibu kota. Mungkin hanya untuk ajang pembuktian, tapi aku tidak mau pulang dengan tangan kosong.
Cepat aku menjawab pertanyaan Bu Amira, supaya beliau tidak khawatir.
"Alhamdulillah sudah baikan, Bu. Semalam Hawa urut sendiri, pakai minyak tawon."
Aku tidak bohong. Rasa nyeri dan bengkaknya sudah jauh berkurang dibandingkan kemarin.
Bu Amira melepas sandal dan duduk tepat di sampingku. Beliau berusaha mengurai rasa canggung di antara kami, dengan mengusap puncak kepalaku yang terbalut hijab.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENAKLUKKAN MOUNT EVEREST
RomanceKetika semesta mempertemukan dua insan yang berbeda suhu. Ghafi Altamis dan Sabira. Akankah suhu dingin Mount Everest mencair ketika bertemu suhu yang hangat. Ini bukan hanya cerita mengenai dua orang yang saling mencintai namun harus menghadapi ba...