Vote dan komentarnya dong, sepi banget. Terima kasih. Selamat membaca.
***
Naya fikir, gerimis yang bermetamorfosis menjadi hujan itu akan reda. Namun nyatanya, sesaat setelah mereka sampai di rumahnya, hujan semakin lebat.
"Aku ganti baju dulu. Kamu tunggu di sini, Dam," ujar Naya sebelum masuk ke dalam rumah.
"Iya sayang," sahut Damar sambil mendaratkan bokongnya pada sofa.
"Kamu mau minum apa? Mau aku buatin wedang jahe?" tanya Naya, masih berdiri di depan pintu.
"Teh tawar hangat aja, Nay."
"Baju kamu juga basah. Kamu yakin nggak mau ganti pakai kaos Ghani, dulu?"
"Tidak usah, basahnya juga tadi tidak banyak. Cuma segini." Damar memperlihatkan ujung lengan kemejanya yang basah.
"Ya sudah."
Setelah semua pencahayaan di dalam dan luar rumahnya menyala, Naya langsung mengganti pakaiannya kemudiam membuat teh hangat dan membawanya ke teras depan rumah.
"Di minum dulu tehnya, Dam. Aku sengaja nggak buat terlalu panas," ucap Naya, lalu duduk pada bagian kursi kosong di samping Damar.
"Terimakasih." Damar meraih cangkir berisi teh hangat itu. Meminumnya sampai setengah. Air hangat yang masuk ke tenggorokannya sedikit membantu menghangatkan suhu tubuhnya.
"Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu, Nay," katanya sambil menurunkan cangkir. Menyimpannya di tempat semula.
Naya langsung memusatkan seluruh perhatiannya pada Damar. Memandang lelaki itu dengan serius. "Tentang?"
"Tentang Ibu," ungkap Damar pendek.
"Ibu?" tangan yang mengurung cangkir Naya eratkan. Bibirnya terkatup rapat. Matanya bergerak mengikuti gerakan bola mata Damar. Namun agak gelisah.
"Maaf," ucap Damar sarat akan rasa bersalah dalam perkataannya.
" ... "
"Aku minta maaf karena kurang peka dengan perubahan sikap kamu belakangan ini," sesalnya telat menyadari. "Aku juga minta maaf, kalau ada kata-kata Ibu yang menyakiti hati kamu."
Naya melipat bibirnya kedalam. Hal yang dia sembunyikan akhirnya terungakp dengan sendirinya. "Bagaimana kamu bisa tahu tentang hal ini, Dam?" tanyanya lagi, terdengar pedih.
"Aku memang tidak tahu persis apa yang Ibu bicarakan sama kamu waktu itu, Nay. Tapi, demi Tuhan, aku hanya menganggap Gendis, adik. Tidak lebih." Damar menjelaskan atas dasar perkataan Ibunya beberapa waktu lalu. "Aku mohon, kamu bertahan. Karena aku tidak mau kita berpisah," pintanya sederhana.
Naya tertegun. "Jadi, sekarang kamu mengerti dengan perubahan sikapku, Dam?"
"Ya," sahut Damar ringkas.
Meksipun rasa sakit yang Naya rasakan tidak berkurang atas perkataan tesirat Utami saat itu Tetapi, kini hatinya sedikit menghangat. Ada setitik harap untuk tetap bersama Damar dan mewujudkan mimpinya kelak.
Damar membawa kedua tangan Naya ke depan dadanya. Menggenggamnya kuat-kuat. "Kita harus berjuang bersama meluluhkan hati Ibu," di kecupnya kedua punggung tangan itu bersamaan.
Seiring perkataan Damar, jutaan bunga dalam dada Naya bermekaran. Dia berharap ucapan lelaki itu bukan bualan semata. "Kamu janji, Dam?" katanya serak.
"Aku janji."
Hening. Keduanya menyelami perasaan satu sama lain melalui tatapan mata. Namun, ponsel Damar tiba-tiba berdering, melepaskan tautan mata mereka.
Di sudut tempat lain. Di sebuah apartemen mewah pusat kota Bandung tepatnya. Bian memandang keluar dari jendela besar unitnya. Langit malam ini nampak masih di selimuti awan hitam pekat dan tebal. Hujan terus menerus turun dengan lebat.
KAMU SEDANG MEMBACA
almost 30
Genç Kız Edebiyatı"Menikah sebelum memasuki usia tiga puluh, haruskah?" Naya, seorang staff salah satu wedding planner ternama di kota Bandung mempunyai target pencapaian sebelum usia 30 dengan menikah. Namun, kisah cintanya dan Damar menemukan ujian. Orang tua Damar...