Bab 27

7K 780 26
                                    

Vote dan komentarnya jangan lupa, terimakasih. Selamat membaca.

Hati-hati, typonya banyak. 😅

***

Setelah tangisnya reda, Naya diam seribu bahasa. Begitu pula dengan Ghani yang  sudah susah payah menenangkannya.

"Minum lagi, Teh." Ghani memberikan gelas air putih yang baru dia ambil pada sang kakak.

"Terimakasih," ucap Naya nyaris tanpa suara, kemudian meminum air putih tersebut perlahan.

Ghani membuang nafas kasar. Melihat sang kakak begitu kacau, dia merasa gagal menunaikan ikrarnya untuk melindungi.
Dan jujur saja, dia belum puas memukuli Damar tadi.

"Jadi, selama ini kalian nggak baik-baik aja?" Ghani mulai melontarkan pertanyaannya."Kenapa teteh diam aja? Kenapa Teteh nggak cerita ke Ghani, Teh?" cecarnya menggebu-gebu.

Naya masih diam. Di satu sisi dia belum percaya cintanya dengan Damar benar-benar usai.

Tetapi, di sisi lain dia harus berani mengambil keputusan berpisah, karena ada hal yang tidak bisa untuk terus di paksakan.

"Teh," desak Ghani, dia sudah tidak sabar ingin mendengar cerita sang kakak.

Mata sembab itu melirik sang adik, lalu menghela sesaat."Seharusnya tadi kamu tidak memukul Damar, Ghan," ucap Naya, membuat Ghani mendecih sebal.

"Luka yang Ghani kasih ke Mas, ralat! Ke orang itu nggak seberapa, Teh. Di kasih betadine juga sembuh. Luka yang dia kasih ke Teteh, apa bisa sembuh cuma di kasih betadine atau kata maaf?"

Bola mata Naya kembali berair. Perkataan Ghani memang benar. Tetapi dia tidak rela melihat Damar babak belur seperti tadi.

"Tapi kekerasan tidak akan menyelesaikan apapun, Ghani," sergah Naya.

"Kekerasan memang tidak akan menyelesaikan apapun, Teh. Ghani nggak bisa biarin siapapun nyakitin orang-orang yang Ghani sayang." Ghani lebih menegaskan."Sering, dia bentak Teteh kaya gitu?" desaknya menuntut jawaban.

Naya menggelenggkan kepalanya."Ghani, Teteh belum siap cerita apapun sama kamu. Jadi tolong, jangan tanya tentang itu dulu," pintanya sungguh-sungguh.

***

"Dari mana saja kamu jam segini baru pulang, Damar?"

Dengan langkah lebar, Damar masuk ke dalam rumah mengabaikan berbagai pertanyaan yang di lontarkan Utami sepanjang langkahnya.

Setelah sehari penuh merenung di unit apartemen miliknya, akhirnya Damar memutuskan pulang ke rumah.

Sampai di depan pintu kamarnya, Damar sontak berbalik. Menatap tajam sang Ibu yang mengekorinya terkejut dengan tindakannya.

"Ibu puas?" ujar Damar dingin namun sarat akan kepedihan.

"Siapa yang memukul kamu, Damar?" Utami menyipitkan matanya ketika mendapati sudut bibir serta bagian tulang pipi putranya berdarah dan lebam.

"Ibu puas, kan? Memang ini kan yang Ibu dan Ayah mau?" ulang Damar diakhiri kekehan sumbang, menampakkan kerutan halus pada dahi Utami.

"Kamu itu bicara apa? Ibu tidak mengerti. Dan kamu kenapa luka-luka begini?" tuntut Utami meminta penjelasan. Tangannya terangkat hendak menyentuh wajah sang putra. Tetapi Damar lebih dulu menempis tangan itu dengan sangat kasar.

almost 30 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang